Saya pun langsung merespons permintaan Slamet dengan mengirimkan pesan via WhatsApp ke Aom yang saat itu selaku Rektor Unila.
“Assalamualaikum. Bang, ada anak yang diterima melalui jalur mandiri di Unila. Ayahnya tuna netra, sehari-hari berjualan kerupuk keliling. Dia betul-betul minta tolong agar uang bangunan sebesar Rp 25 juta dikurangi Rp 10 juta. Insya Allah dia sanggup. Demikian juga uang semester kalau bisa Rp 3 juta saja. Saya berharap ada jalan keluarnya. Semangat dan perjuangan agar anaknya bisa kuliah bisa terwujud. Allah maha kuasa. Bukan hal yang mustahil anaknya akan menjadi salah satu pemimpin negeri ini", demikian isi WA saya ke Aom.
Untuk meyakinkan Aom, saya pun mengirimkan foto Slamet dengan dagangan kerupuknya yang ia panggul menggunakan belahan bambu.
Itulah kenapa saya bisa tahu dengan detil kapan pertemuan itu terjadi. Sebab saya masih menyimpan WA saya dengan Aom.
Pesan via WA itu saya kirim pukul 10.01 WIB. Dan dijawab Aom pukul 10,56 menit.
“Aamiin. Dilengkapi identitasnya. Kirim ke Wakil Rektor II tembus rektor," jawab Aom.
Pembicaraan saya via WA dengan Aom ini saya kirimkan ke staf saya yang memang sangat dekat dengan rektor dan pimpinan rektorat lainnya.
Namun, setelah melalui berbagai perundingan dan negosiasi, Unila memutuskan tidak bisa mengurangi besaran SPI itu. Sebab sudah masuk dalam sistem.
Unila memberikan kebijakan, uang itu bisa diangsur dua kali. Sedangkan untuk uang semester, setelah daftar bisa mengajukan keberatan.
Ada harapan bisa dikabulkan. Kepala Biro Keuangan Unila meminta agar Slamet bisa langsung menghadap.
Ternyata hasilnya tidak berubah. Dan, Slamet mengaku saat itu dibantu Rp 50 ribu.
Saya meminta Slamet untuk menarik diri. Saya sarankan anaknya kuliah di UBL saja. Sambil kuliah, anaknya bisa bekerja di perusahaan saya, Harian Radar Lampung.
“Terima kasih pak atas bantuannya. Biarlah dia tetap kuliah di Unila sesuai dengan keinginannya. Insya Allah saya sanggup,” ujar Slamet.
Sejak itu, saya beberapa kali bertemu dengan Slamet. Pertemuan terakhir saya sekitar empat bulan lalu.
Saat itu selepas Isya sekitar pukul 8 malam. Saya melihatnya sedang memikul kerupuk dagangan di Jalan Untung Suropati.
Saya pun berhenti. “Kok, jam segini belum pulang Met. Ayo saya antar ke rumah,” saya menawarkan jasa. Kasihan, jam segini dia masih menyusuri jalan raya.