Slamet menolak tawaran saya.
“Nggak usah pak. Terima kasih".
Saya tahu perjalanan Slamet ini masih jauh dari rumahnya di perumahan Kota Sepang.
“Ya sudah Met kalau begitu,” ujar saya meninggalkan dia sambil memasukkan uang Rp 100 ribu ke saku bajunya.
Sungguh saat itu saya lupa menanyakan kabar anaknya. Apakah masih kuliah atau tidak.
Sejak itu saya tak lagi dengar kabar Slamet. Dan baru ingat dia setelah Aom ditangkap KPK.
Sabtu hingga Minggu malam setelah Aom ditangkap saya terus teringat Slamet.
Bagaimana nasibnya kini. Bagaimana kuliah anaknya? Ada perasaan bersalah. Kenapa saat itu saya tak membantunya membayar uang SPI itu.
Keinginan bertemu Slamet memuncak ketika saya salat Isya, Minggu malam. Saya menangis bukan karena memahami bacaan imam. Namun, saya ingat Slamet.
Saya pun memutuskan, besok saya harus temui dia. Saya ingin tahu keadaannya. Keadaan anaknya.
Senin sekitar pukul 10 pagi, saya ke rumah kontrakannya di perumahan Kota Sepang.
Dia baru tinggal di sana enam bulan lalu. Dari pertemuan inilah saya baru tahu kehidupan Slamet yang sebenarnya.
Slamet ternyata sudah tahu soal penangkapan Aom dan kawan-kawan melalui siaran YouTube.
“Kasihan ya Pak. Saya rasa kurang bersyukur saja,” ujar Slamet.
Slamet mengaku biasa-biasa saja saat permohonannya tidak dikabulkan pihak rektorat Unila.
Bahkan kebijakan Unila bisa diangsur dua kali sangat membantunya. Dua anaknya, baik yang di Unila dan pondok bisa mendaftar.