Problematika Politik Identitas di Indonesia

Senin 31-10-2022,11:04 WIB
Editor : Yuda Pranata

BACA JUGA:Hari Ini Polri Agendakan Sidang Kode Etik untuk Brigjen Hendra Kurniawan

Manusia dan Perbedaan

Fenomena perbedaan manusia tidak hanya dalam bidang agama, namun juga dalam bidang budaya, suku, strata sosial dan bahkan fisiknya ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang normal dan adapula yang tidak normal (baca:gila). Hal ini menegaskan bahwa perbedaan itu merupakan sunnatullah.

Maka toleransi dengan perbedaan tersebut hendaknya harus selalu dipupuk oleh setiap kalangan umat beragama. Karena sudah sejak ribuan tahun manusia selalu berbeda dalam keyakinan. Bahkan dalam salah satu ayat Al-Qur’an surat Yunus: 99 sudah ditegaskan sebagai berikut  “Dan jika kalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”.

Berdasarkan ayat tersebut di atas, menunjukkan bahwa manusia boleh berbeda dalam keyakinan, boleh berbeda dalam ideologi keagamaan, boleh berbeda dalam politik namun manusia tidak boleh berbeda dalam sifat kemanusiaannya yaitu tolong menolong, menjunjung tinggi hak asasi manusia, hormat menghormati dan lain sebagainya. Jika itu dapat kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya tidak ada lagi politik identitas yang akan muncul dalam perhelatan politik nanti di tahun 2024 dan seterusnya. Cukup pilkada DKI dan pilpres 2019 masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua golongan. Selanjutnya mari kita kembali bersatu padu membangun negara ini menjadi negara yang baldatun toyyibun warrabun ghofur. 

Karena sejatinya munculnya intoleransi hanya ada di DKI dan itupun  hanya saat pilkada DKI tahun 2017. Selebihnya masyarakat DKI khususnya dan umumnya masyarakat Indonesia sangat toleran terhadap perbedaan.

BACA JUGA:1 Pemuda Jadi Tersangka Pengeroyokan Pelajar di Depan Eks Kafe Tokyo, Kuasa Hukum: Pelaku Lebih Dari 3 Orang

Hal ini dapat dibuktikan dibeberapa pilkada khususnya di Indonesia timur, PKS dan PAN yang notebene adalah berideologi Islam harus melakukan koalisi partai politik dalam mendukung salah satu calon kepala daerah disana meskipun non muslim seperti Amos Yikwa-Robeka Enembe di Tolikara, Befa Jogibalom  di Lannya Jaya, Yuni Wonda di Puncak Jaya dan Yarius Gwijangge di Nduga.

Maka diakhir tulisan ini, penulis menyarankan kepada pemerintah untuk memberlakukan pesona non grata kepada Benedict Rogers sebagaimana yang pernah diberikan oleh pemimpin  Iran kepada Salman Rusdie atas tulisannya dengan judul ayat-ayat syetan atau persona non grata yang diberikan kepada Deputi Perdana Menteri Rusia, Dmitry Rogozin yang dilarang masuk ke wilayah Republik Moldova. Pemerintah Moldova beralasan, Rogozin telah melontarkan komentar penghinaan dalam sebuah wawancara dengan sebuah saluran televisi Rusia.

Hal ini agar dapat sebagai peringatan bahwa penelitian yang parsial kemudian di publikasikan akan sangat berbahaya terkait dengan pandangan negara-negara lain kepada negara yang menjadi obejk penelitian yang parsial tersebut. Sehingga kedepan para peneliti hendaknya lebih berhati-hati dalam mempublikasikan hasil penelitiannya khususnya terkait dengan hal-hal yang sensitif dan berhubungan dengan kondisi suatu negara.

ENGLISH TRANSLATION

Opinion/Response to the article written by Benedict Rogers about “Indonesian Pluralism Is Not Only in Danger But Also in Support of Life."

Along with the times, the development of modern technology has made everyone and all circles free to have opinions either directly or through writing. One of the articles written by Benedict Rogers entitled "Indonesian Pluralism Is Not Only in Danger But Also in Support of Life" . Since the article hasn’t gone through deep research which result in a premature opinion .  This acticle can be used as comparison ,because it is not in accordance with the personality of the Indonesian people, especially Muslims who prefer peace with the motto "Bhineka Tunggal Ika." 

One of the leading NU figures in Indonesia, Abdurrahman Wahid said "The high and low value of human worship to God really depends on how far a person can achieve peaceful life for others, not solely based on the extent to which individuals can relate to God through formal rituals".

What has been stated by Abdurrahman Wahid or Gus Dur above has shown and taught that so far, we have only carried out formal rituals without understanding the true teachings of the religion we profess. In the sense that we pray only to abort obligations and going for hajj is only to raise one's status or attract the masses in local and regional elections and legislative elections, both central and regional. In that case, we will never get the essence of prayer and hajj itself. In one of its verses, Al-Qur'an reads, "Inna prayer tanha anil fakhsa'i wal munkar" (that prayer prevents evil and evil deeds). However, what kind of prayer can prevent evil deeds, or what kind of pilgrimage can be called the mabrur pilgrimage? Must the reward be heaven? What if hatred and terror against groups of other teachings that are not in accordance with the teachings we profess continue to occur on this earth? It has shown that our religious rituals are pseudo.

The fact is that the emergence of various forms of identity politics in Indonesia that cannot be separated from the events of the DKI regional elections that continued at the 2019 Presidential Election further strengthened Benedict Rogers' opinion in his column in online media stating that Indonesia can no longer be called a country that prioritizes moderate traditions in religion.

Kategori :

Terkait