Problematika Politik Identitas di Indonesia

Senin 31-10-2022,11:04 WIB
Editor : Yuda Pranata

By: M. Iwan Satriawan, S.H., M.H.

RADARLAMPUNG.CO.ID - Seiring perkembangan zaman yang diikuti oleh perkembangan teknologi modern, membuat semua orang dan semua kalangan bebas beropini baik secara langsung (direct) maupun melalui tulisan atau tidak langsung (indirect).

Dalam salah satu artikel yang telah ditulis oleh Benedict Rogers yang berjudul “Pluralisme Indonesia Tidak Hanya Dalam Bahaya Tapi Juga Dalam Mendukung Kehidupan” dimana artikel tersebut kurang mendalam dalam hal riset sehingga konklusi yang dihasilkan terkesan premature.

Maka dalam tulisan ini semoga dapat sebagai pembanding dari artikel yang telah ditulis oleh Benedict Rogers tersebut karena tidak sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia yang lebih menyukai perdamaian dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrua”.

Mengutip salah satu tokoh NU ternama di Indonesia bahwa : “Tinggi rendahnya nilai peribadatan manusia kepada Allah sangat tergantung pada seberapa jauh seseorang dapat mewujudkan kedamaian hidup bagi sesamanya, tidak semata-mata berdasar pada sejauh mana individu bisa berhubungan dengan Allah melalui ritualitas formal” (Abdurrahman Wahid).

BACA JUGA:Apa yang Terjadi Jika Meminum Air Mentah? Berikut Ini Penjelasan dr. Saddam Ismail

Apa yang telah dikemukakan oleh Gus Dur tersebut di atas telah menunjukkan dan mengajarkan bahwa selama ini kita hanya menjalankan ritualitas formal tanpa mengerti sejatinya ajaran agama yang kita anut.

Dalam artian kita sholat hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban, pergi haji hanya sekedar menaikkan status atau agar dapat menarik massa dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) dan pemilu legislative baik pusat maupun daerah.

Essensi dari sholat dan haji sendiri tidak akan pernah kita dapatkan. Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya yang berbunyi “inna sholata tanha anil fakhsa’i wal munkar “(bahwa sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar).

Namun sholat yang bagaimana yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar atau haji yang bagaimana yang dapat disebut sebagai haji mabrur? Yang imbalannya pasti surga? Jika kebencian dan teror terhadap kelompok ajaran lain yang tidak sesuai dengan ajaran yang kita anut terus saja terjadi di muka bumi ini? Hal ini telah menunjukkan bahwa ritualiatas keagamaan kita semu.

BACA JUGA:Hari Ini Polri Agendakan Sidang Kode Etik untuk Brigjen Hendra Kurniawan

Faktanya adalah munculnya berbagai macam bentuk politik identitas di Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa pilkada DKI yang berlanjut pada perhelatan Pilpres 2019 semakin menguatkan opini Benedict Rogers dalam kolomnya di media online yang menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa lagi disebut sebagai negara yang mengedepankan tradisi moderat dalam beragama.

Demo berjilid-jilid  dilakukan demi menggagalkan  menjadikan calonnya menjadi Gubernur DKI. Bahkan dengan  ‘menjual ‘ayat dan mayat mereka lakukan demi mencapai cita-cita mereka memenangkan gubernur pilihannya yang notebene muslim melawan minoritas non-muslim dan muslim moderat.

Berbagai ancaman fatwa terkait larangan memilih pemimpin non-muslim dan ketika meninggal tidak akan disholati bagi mereka yang memilih pemimpin non-muslim muncul baik dalam bentuk baliho maupun postingan di media sosial.

Dampaknya sudah 5 (lima) tahun berlalu pasca pilkada DKI, namun luka tersebut tetap sulit terobati. Bahkan dalam Pilpres pada tahun 2019 upaya yang sama juga berusaha dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras dengan metode yang sama demi mengalahkan lawan politiknya.

Kategori :

Terkait