Mengapa Harus 'Ada Merdeka'
--
Oleh: Eka Sofia Agustina*
(*Mahasiswa Program Doktor Pendidikan FKIP dan Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung serta Dewan Pakar PGRI Provinsi Lampung)
RADARLAMPUNG.CO.ID-Masih berasa nuansa HUT Kemerdekaan RI Ke-77 bulan Agustus lalu. Begitu pula nuansa paradigma sistem pendidikan nasional yang senantiasa dinamis bergerak harmonis mengikuti tuntutan perubahan jaman dan generasi dari masa ke masa. Salah satu aktulisasi dari perkembangan dinamis itu adalah bergeraknya kurikulum dari nama yang satu menuju yang lain.
Perkembangan kurikulum di Indonesia sudah mengalami 10 kali penyempurnaan. Di sini, saya lebih berbahagia menyebutnya dengan 'penyempurnaan kurikulum' bukan 'perubahan kurikulum'. Mengapa?
Karena sejatinya tidak ada satu konsep ilmu yang bergerak di muka bumi ini tanpa ada rujukan dari konsep yang terdahulu. Bisa berkembang dan mengembangkan karena ada inspirasi dan bahan secara subtansial dari yang terdahulu. Istilah lain bisa disebut dengan inovasi. Jadi sejatinya, tidak ada konsep perubahan kurikulum yang ada adalah penyempurnaan kurikulum.
Di sini, saya lebih tertarik membahas kata 'merdeka' dan 'perubahan kurikulum' dalam konteks akan diterapkannya Kurikulum Merdeka secara menyeluruh perkiraan tahun 2024.
Dari berbagai sumber yang saya pelajari baik bahan bacaan atau video visual dari berbagai narasumber terpercaya utamanya dari Bapak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia dan platform-platform yang disedikan Kemendikbud, saya belum mendapatkan kekokohan penjelasan kunci 'merdeka' untuk merevolusi paradigma pendidikan yang saat ini sedang gencar dilaksanakan.
Secara garis besar, komponen yang ditawarkan dalam konsep Kurikulum Merdeka yang diperuntukkan untuk satuan pendidikan dasar sampai dengan menengah atas adalah persoalan peningkatan kualitas pendidik sebagai agen sentral perubahan di kelas.
Beberapa hal besar yang saya catat diantaranya ialah konsep pembelajaran yang menyenangkan dengan berakibat pada kemerdekaan berpikir, lalu melahirkan ide-ide kritis, pembelajaran dilakukan dengan penuh kesadaran tanpa tekanan, peserta didik perlu diperhatikan secara perkembangan individualnya baik sebagai pribadi maupun bagaimana dia bersosialisasi dengan lingkungannya, pendidik harus menjadi sosok yang inspirator , sebagai fasilitator, dan sebagai motivator.
Faktanya, bukankah konsep-konsep tersebut sudah ada dan sedang giat-giatnya dilakukan oleh para pendidik di sekolah masing-masing.
Dan untuk peningkatan kualitas pendidikan Kemendibud juga melaksanakan program pendidikan untuk guru seperti PPG, baik PPG Prajabatan dan PPG Dalam Jabatan.
Kesemua hal itu demi satu tujuan peningkatan kualitas pendidik yang akan berdampak pada peningkatan kualitas peserta didik dan akan menghasilkan kualitas pendidikan yang semakin baik. Mengadapi hal yang ramai berjalan dua tahun ini, saya sempat melakukan monolog diri.
Apakah tidak dipikirkan dampak dari bersemangatnya mengubah Kurikulum 2013 revisi 2017 menjadi Kurikulum Merdeka, yang juga menyediakan setumpuk instrumen yang menurut saya
juga tidak sederhana untuk dipahami oleh para perangkat sekolah (Kepala Sekolah, pengawas, dan guru, yang berdampak pada peserta didik). Saya sampai mengibaratkan sesuatu yang sedang cinta-cintanya lalu diputus di tengah jalan. Nampak menyakitkan!
Sama seperti para teman-teman pendidik yang sedang cinta-cintanya memahami paradigma pembelajaran abad 21, konsep pembelajaran berorientasi HOTS, konsep pembelajaran yang inovatif, perangkat pembelajaran yang inovatif yang berada dalam rumah Kurikulum 2013.
Lalu saya juga mengibaratkan begini, kok seperti “apa pun makanannya, minumnya teh botol sosro”! Jadi apa pun masalah yang terjadi dalam ketidakmasimalan pencapaian pendidikan di Indonesia yang salah adalah kurikulumnya. Lalu dengan mudah, merobohkan rumahnya dan mendirikan rumah baru tanpa kekuatan yang kokoh seperti jumlah kamar-kamarnya beserta perabot yang ada didalamnya.
Belum lagi persoalan tegang waktu penerapan dan sosialisasi pemahaman Kurikulum Merdekakepada para kepala sekolah yang masuk status sekolah penggerak dan guru penggerak dengan jumlah terbatas.
Cara pentransferan ke yang lain dengan jumlah yang tidak sedikit, ditambah dengan faktor demografi dengan luas Indonesia dan posisi sekolah dari kota sampai ke penjuru dan pelosok negeri. Pelosok negeri dengan akses yang sangat terbatas.
Belum lagi sarana prasarana yang dimiliki setiap sekolah beserta sumber daya manusianya (kepala sekolah dan pendidik). Bagaimana teman-teman pendidik di sana bisa sama cepat memahami maksud dari konsep Kurikulum Merdeka? Bagaimana dari sisi peserta didik yang dirugikankah?
Saya cukup banyak memiliki daftar pertanyaan tentang ini. Bukankan ini akan memanen permasalahan pencapaian pendidikan pada evaluasi pendidikan di Indonesia yang mungkin baru akan terjawab 10 atau 15 tahun ke depan? Karena pendidikan adalah sebuah proses maka dampak dari proses itu tentu menunggu waktu.
Dan sudah pasti sistem regulasi pemerintahan sudah berubah. Karena ritme sistem pendidikan mau tidak mau, suka tidak suka mengikuti pemegang kebijakan di pemerintahan. Jadi jangan salahkan hal yang semakin populer berganti menteri biasanya diikuti pergantian sistem pendidikan beserta kurikulumnya.
Selanjutnya saya mencoba menelisik lewat membaca lebih dalam tentang konteks kata 'merdeka' yang menurut paparan pak Nadiem terinspirasi oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki hajar Dewantara. Saya membaca catatan Bapak Ki Hajar Dewantara dalam bentuk buku, hasil yang saya dapatkan adalah kata 'merdeka' dikeluarkan oleh Ki Hajar bersamaan dengan gelora dan semangat nasionalis saat itu, saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Betapatermarjinalkan bangsa pribumi untuk bisa mengenyam pendidikan yang hanya diperuntukkan untuk warga anak keturunan Belanda, priyayi, dan bangsawan. Semangat nasionalis dan cinta tanah air untuk bisa memberikan fasilitas pendidikan kepada rakyat Indonesia saat itu juga diinspiratifkan oleh pandangan-pandangan tokoh pendidikan dunia seperti Froebel, Montessori, dan Tagore sehingga muncullah konsep 'memerdekakan manusia'. Karena dengan “memerdekakan manusia” maka akan selamat raganya dan bahagia jiwanya. Konsep Taman Siswa milik beliau sangat terinspirasi oleh pemikiran ketiga tokoh tersebut. Asumsi saya kata 'merdeka' saat itu sangat berhubungan dengan konteks penjajahan yang dilakukan Belanda pada masa itu, dan rakyat Indonesia memimpikan bentuk rasa 'merdeka'. Cukup dulu bahasan tentang kekuatan makna kata 'merdeka' dalam konteks Ki Hajar merumuskannya.
Selanjutnya, jika ditarik dalam konteks kekinian, saya agak gelisah. Sudah tepatkah diksi 'merdeka' dalam konteks perkembangan jaman saat ini? Mengapa? Karena pemaknaan kata 'merdeka' dalam konteks pendidikan bisa bermakna luas, memasuki ruang-ruang berpikir peserta didik tanpa batas. Dan saat ini, kita berhadapan dengan generasi mileneal. Satu generasi yang katanya sangat dengan teknologi dan mampu dengan mudah mengakses dunia dari media gawai mereka.
Secara makna kamus, 'merdeka' dimaknai sebagai hal yang berdiri sendiri, tidak terkena, atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak bergantung kepada pihak tertentu.
Dari makna tersebut lalu ditarik menjadi definisi operasional yang konkret ke dalam Kurikulum Merdeka, saya pikir pentransferan makna, baik kepada pendidik maupun peserta didiknya tidak terlalu jauh.
Lalu mau dibawa kemana lagi arah pendidikan kita? Berganti lagi? Berubah lagi? Niat untuk menyederhanakan konsep dalam pengimplementasian mungkin benar, tapi bukankah itu juga akan menguras energi, waktu, biaya, pemikiran para pendidik, peserta didik dan komponen terkait? Untuk paham lalu benar-benar mengimplemntasikan tentu butuh waktu. Dan pasti tidak sederhana dan sebentar. Saya bertanya pada diri saya, mengapa bukan subtansi paradigma pendidikan yang disempurnakan seperti tentang pendekatan pembelajarannya, metode pembelajarannya, teknik pembelajarannya, model pembelajarannya, stretegi pembelajarannya, evaluasi pembelajarannya tanpa harus merobohkan tatanan bangunannya yang sudah mulai kokoh terlaksana? Mengapa tidak lega jiwa menyempurnakan komponen mana sebagai identifikasi terparah untuk diobati. Jadi nampak lebih tepat pemberian resep obatnya jika ini adalah tentang identifikasi penyakit. Salam Merdeka#Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat ! (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: