disway awards

Lampung Dalam Potret Literasi: Antara Capaian dan Ketertinggalan

Lampung Dalam Potret Literasi:   Antara Capaian dan Ketertinggalan

Dr. Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd.--dok pribadi

Oleh: Dr. Eka Sofia Agustina, M.Pd*

(*Akademisi FKIP Unila dan Dewan Pembina Perkumpulan Pendidik Bahasa Daerah Indonesia Wilayah Provinsi Lampung)

RADARLAMPUNG.CO.ID-Aksara adalah bentuk konkret dari bahasa yang memungkinkan manusia “berbicara melintasi waktu”.

Tulisan ini saya awali dengan menyegarkan kembali ingatan kita bersama mengapa UNESCO menetapkan tanggal 8 September sebagai International Literacy Day atau Hari Aksara Internasional (HAI). 

Semangat peringatan tentang momentum ini adalah untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya literasi sebagai satu isu hak asasi manusia pada lingkup pendidikan dan kesejahteraan. 

Dalam catatan sejarahnya, diawali dengan penyampaian bahwa umat manusia sejak 8000 tahun sebelum masehi sudah mengenal akksara sebagai alat dalam berkomunikasi.

Namun, sampai tahun 1965 masih terdapat 350 juta orang yang ada dipenjuru dunia masih buta huruf, termasuk Indonesia. Permasalahan global tersebut tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena literasi menjadi salah satu factor terpenting yang mendorong kemakmuran masyarakat di suatu negara. 

Akhirnya, pada 8 September 1965 diselenggarakanlah konferensi dunia oleh UNESCO yang bertema “World Conference of Ministers of Education on the Eradication of Illiteracy” di Teheran, Iran.

Dalam konferensi tersebut, Pemerintah Republik Iran mengusulkan sebuah ide supaya UNESCO untuk memberikan hadiah apresiasi kepada individu-individu yang berjasa dalam perjuangan melawan buta huruf.

Permohonon tersebut secara resmi dikabulkan UNESCO pada tahun 1966 dan sekaligus mendeklarasikan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. 

Selanjutnya, peringatan Hari Aksara Internasional pertama kali diperingati pada tahun 1967 tanggal 8 September di seluruh dunia untuk mengingatkan para pembuat kebijakan, praktisi, dan masyarakat tentang pentingnya literasi dalam menciptakan masyarakat yang lebih melek huruf, adil, damai, dan berkelanjutan oleh masyarakat global.

Selain itu, setiap tahunnya UNESCO juga memberikan reward kepada masyarakat internasional yang memiliki jasa dalam upaya perjuangan melawan buta huruf.

Sekitar tahun 1990, pentingnya peran literasi semakin disorot dunia ketika konferensi dunia “Education for All” yang diadakan di Jomtien, Thailand.

Kemudian berlanjut pada tahun 2015, literasi menjadi poin terpenting dalam salah satu tujuan utama Sustainable Development Goals (SDGs) bidang pendidikan. SDGs sendiri adalah sebuah rencana aksi global yang disepakati para pemimpin-pemimpin dunia termasuk Indonesia, yang memiliki tujuan menamatkan kemiskinan, mengurangi kesenjangan sosial dan melindungi lingkungan dunia.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait