Kemampuan Dwibahasa dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Kepribadian

Kemampuan Dwibahasa dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Kepribadian

Kemampuan Dwibahasa dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Kepribadian. Haliza Rahmatika Bulqis-dok pribadi-dok pribadi

Oleh : Haliza Rahmatika*

(Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati)

 

RADARLAMPUNG.CO.ID-“Learn a language and get a new soul” (Belajarlah bahasa dan dapatkan jiwa yang baru). Pepatah Ceko yang satu ini tidak bisa meninggalkan pikiran saya sejak saya menemukannya. Sebagai seorang bilingual (dwibahasawan) yang berbicara dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, saya mengalami perubahan kepribadian yang besar setiap kali saya beralih dari satu bahasa ke bahasa lain. Saya berbicara bahasa Indonesia sebagai bahasa asli saya setiap hari, dan teman-teman saya mengenal saya sebagai orang yang introvert, pemalu dan pendiam.

Hal sebaliknya terjadi ketika saya berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa kedua saya. Hal ini mengubah saya menjadi orang yang lebih ekstrovert, supel dan ramah. Saya merasa seperti dua orang yang sangat berbeda. Sebagian diri saya yang lain menyeret saya ke bawah dan menenggelamkan saya dalam renungan saya sendiri, membuat saya bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan saya.

Kemudian salah seorang teman saya yang juga seorang dwibahasawan mengatakan kepada saya bahwa ia mengalami hal yang sama. Setelah kebingungan yang mendalam dan pertanyaan-pertanyaan aneh yang tak ada habisnya, saya menemukan fakta bahwa perubahan kepribadian selama peralihan bahasa sebenarnya adalah hal yang umum terjadi di antara para dwibahasawan. Namun, terlepas dari kenyataan bahwa banyak dwibahasawan yang mengungkapkan bahwa mereka merasa berbeda dalam setiap bahasa mereka, hanya sedikit peneliti yang mencoba untuk mendapatkan dasar dari pertanyaan ini (Schrader, J. 2011).

Beberapa penelitian menegaskan bahwa perilaku individu yang berkomunikasi dalam beberapa bahasa akan berubah seperti yang ditunjukkan oleh bahasa yang mereka gunakan. Beberapa orang berpendapat bahwa ketika seorang penutur berganti bahasa dan kepribadian mereka berubah, mereka tidak benar-benar mengubah karakter mereka, melainkan bagian tertentu dari karakter mereka menjadi "ditonjolkan".

Mereka tidak mengatakan bahwa bahasa yang mereka gunakan memiliki kepribadian yang berbeda, tetapi penuturnya mengubah lingkungan sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Selain itu, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh leaflanguages.org menyatakan bahwa, "beberapa penutur, misalnya, mengatakan bahwa mereka berpikir dalam satu bahasa tetapi merasa dalam bahasa lain, sehingga menyebabkan keterputusan (disconnect)".

Selain itu, apa yang dipandang sebagai perubahan kepribadian kemungkinan besar adalah perubahan langsung dalam sikap dan perilaku yang mengidentifikasikan dengan perubahan situasi atau pengaturan yang otonom dari bahasa. Multibahasawan adalah orang-orang yang, meskipun menggunakan dua bahasa atau lebih, tidak mengalami fenomena perubahan kepribadian. Hal ini mendukung argumen bahwa perubahan dalam bagaimana seseorang bertindak dan merasa tampaknya terletak pada banyaknya budaya, bukan bahasa.

Ahli bahasa Jean-Marc Dewaere dan Aneta Pavlento melakukan penelitian mengenai hal ini. Mereka melibatkan 1000 orang (dwibahasawan) untuk mengetahui apakah mereka merasa seperti individu alternatif saat berkomunikasi dalam bahasa mereka yang lain, yang sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa mereka mengalaminya dan sisanya tidak.

Hal ini tentu saja merupakan bukti nyata yang sangat mendukung teori bahwa orang yang multibahasa mungkin juga memiliki kepribadian ganda. Lalu, apa alasan di balik fakta bahwa bahasa yang berbeda dapat membentuk kepribadian yang berbeda? Ada tiga hal yang sangat berkontribusi dalam hal ini, yaitu struktur bahasa, budaya bahasa itu sendiri, dan lingkungan.

Struktur bahasa memiliki peran untuk mempengaruhi kepribadian seseorang yang multibahasa. Saya pribadi merasa bahwa struktur bahasa dalam bahasa Inggris terlihat lebih fleksibel untuk berbicara daripada bahasa ibu saya. Perasaan fleksibel yang saya miliki ini mungkin menjadi hal yang membuat saya merasa lebih percaya diri dalam berbicara bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu saya. Selain itu, Wolfestone (2017) berpendapat bahwa kepercayaan diri seseorang yang multibahasa saat berbicara bahasa juga dapat menyesuaikan kepribadian mereka.

Tidak ada ketidakpastian dalam hal hubungan antara bahasa dan kompleksitas. Baik bahasa dan budaya memiliki hubungan yang kompleks satu sama lain dan menciptakan berbagai dampak pada individu. Kita tahu bahwa bahasa dan budaya sangat terkait satu sama lain. Budaya tidak akan pernah ada tanpa bahasa, dan begitu juga bahasa tidak akan pernah bisa berkembang tanpa budaya.

Oleh karena itu, ketika Anda mempelajari suatu bahasa, Anda juga akan belajar tentang budayanya. Ketika Anda berinteraksi dengan bahasa lain, itu berarti Anda juga berinteraksi dengan budaya yang menggunakan bahasa tersebut (2018).

Negara berbahasa Inggris seperti Amerika memiliki salah satu budaya sosial yang saya yakin sebagian besar dari kita sudah mengenalnya. Budaya mengumpat. Sekarang coba pikirkan, ketika Anda menonton salah satu acara di Amerika, Anda pasti pernah mendengar beberapa kata umpatan yang diucapkan oleh para aktornya, bukan? Kita tidak perlu jauh-jauh ke acara Amerika, bahkan kita bisa menemukan umpatan-umpatan yang bisa ditemukan di banyak video YouTube.

 

Tidak hanya YouTube, banyak penyanyi dalam membuat musik mereka juga melibatkan kata-kata umpatan. Dewasa ini kita cenderung melihat pengguna media sosial sering berinteraksi dengan kita dengan kata-kata umpatan dan secara tidak sadar kita juga menjadi bagian dari mereka.

 

Sebelumnya, umpatan dikenal sebagai alat komunikasi untuk menjatuhkan, mengkritik, atau mengutuk seseorang. Namun saat ini sepertinya kata-kata umpatan tidak hanya digunakan untuk mengutuk seseorang tetapi juga untuk mengikat ikatan antar manusia. Saya pribadi, merasa nyaman dan lebih dekat dengan teman-teman saya ketika kami melibatkan umpatan dalam percakapan sehari-hari. Bukan sebagai alat untuk saling mengutuk, umpatan telah menjadi semacam alat pengikat.

Beberapa multibahasa dilaporkan memiliki perbedaan dalam gaya berbicara. Perbedaan ini berkisar dari tingkat kekasaran yang dirasakan hingga frekuensi menyela pembicara lain. Alasan yang dikutip untuk karakteristik ini termasuk perbedaan budaya dalam penerimaan bahasa yang lebih kasar hingga perbedaan struktural antara bahasa yang digunakan (Emma, 2016).

Budaya mengumpat tentu berbeda dengan budaya sosial di Indonesia. Maksud saya, kita mungkin melibatkan kata-kata umpatan dengan teman dekat kita, tetapi tidak sesederhana itu daripada kita menggunakan bahasa Inggris untuk kata-kata umpatan. Beberapa teman kita mungkin merasa tidak nyaman dan akan menganggap kita tidak sopan. Ini berbeda dengan orang Inggris yang cenderung lebih terbuka dengan umpatan.

Kesimpulannya, dwibahasawan menggunakan bahasa mereka untuk berbagai tujuan, di berbagai bagian kehidupan, dengan orang yang berbeda. Berbagai konteks dan domain memicu kesan, sikap dan perilaku yang berbeda. Ini adalah struktur bahasa, lingkungan dan budaya yang menyebabkan dwibahasawan mengubah perspektif, sikap, perasaan dan perilaku. Sebagai seorang dwibahasawan yang berbicara bahasa Inggris dan Indonesia, saya sendiri memiliki kepribadian yang berbeda.

Pikiran berbahasa Indonesia saya dulu menganggap saya sebagai orang yang sangat pemalu, pendiam dan tidak banyak bicara. Sementara pikiran saya yang berbahasa Inggris membuat saya menjadi orang yang lebih cerewet dan ramah, saya bahkan bisa menyapa dan berbicara dengan orang asing tanpa merasa terbebani. Hal ini terkesan aneh untuk dipikirkan, tapi itulah yang sebenarnya terjadi.

Jadi, apakah Anda tertarik untuk belajar bahasa baru dan mendapatkan jiwa baru? Mungkin Anda sekarang akan bertanya-tanya bahasa mana yang bisa membangun sifat kepribadian baru Anda dan saat ini lah Anda mendapatkan kesempatan untuk mengeksplorasi versi lain dari diri Anda ! (*)

 

REFERENSI

 

 

 

Xiaohua, S. Harris, M. (2010). Two Languages, Two Personalities? Examining Language Effects on the Expression of Personality in a Bilingual Context.

Sage Publications. Schrader, J. (2011, November 1). Change of Language, Change of Personality?. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/life- bilingual/201111/change-language-change- personality

 

LEAF Architect. (2020, July 9). Folium: Do Multilingual People  Have Multiple Personalities via   New Republic. https://www.leaflanguages.org/folium-multilingual-people- have-multiple-personalities-via-newrepublic/

 

Wolfestone. (2017, July 6). Life as a Multilingual: Does Your Personality Changewith Language? https://medium.com/@Wolfestone/life- as-a-multilingual-does-your-personality-change-with-language- b278299b8c2d

 

Day Translations. (2018, May 15) The Relationship between Language and Culture Defined. https://www.daytranslations.com/blog/language-and-culture/#:~:text=Language%20and%20culture%20are%20intertwined,without%2 0accessing%20its%20language%20directly.

 

Buckby, Emma. (2016, November 9). Multilinguals : Your personality changes when you change language. https://www.communicaid.com/business- language-courses/blog/bilingualism-personality-change-according-language- speak/

 

New Scientist and Reuters. (2008, June 25). How switching language can change your personality. https://www.newscientist.com/article/dn14202- how-switching-language-can-change-your-personality/#ixzz6zMjXY

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: