Kebakaran hutan merupakan permasalahan bencana yang terus berulang di Indonesia, terlebih lagi pada musim kemarau. Menurut U.S. Fire Service, terjadi lebih dari 700 kebakaran hutan setiap tahunnya dan membakar lebih dari 7 juta hektar lahan.
Angka ini terus meningkat seiring dengan pemanasan global yang membuat masalah ini tidak bisa dianggap remeh lagi. Di Indonesia, berdasarkan data oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, kebakaran hutan dalam rentang tahun 2015-2020 mencapai 2.611.411,44 ha, dimana paling tinggi terjadi pada tahun 2019. Saat ini, kebakaran hutan menjadi fokus utama bagi pemerintah Indonesia, mengingat dampak asap dan emisi karbon yang dihasilkan.
Terdapat dua penyebab kebakaran hutan yang sering terjadi, yakni akibat bencana alam dan aktivitas manusia. Namun, mayoritas penyebab kebakaran hutan justru berasal dari manusia itu sendiri, dimana keserakahan manusia menjadi faktor utama hal tersebut terjadi.
Penyebab pertama adalah kebiasaan merokok yang menjadi aktivitas sehari-hari bagi masyarakat, khususnya kaum pria. Merokok sering dilakukan sembari mengemudi, berjalan-jalan, ataupun bersepeda di lingkungan masyarakat. Namun, terkadang perokok tidak menyadari ketika membuang puntung rokok yang belum dimatikan dengan benar secara sembarangan, khususnya pada area hijau seperti halnya hutan, dapat menjadi awal terjadinya kebakaran.
Selain itu, aktivitas Illegal logging yang merupakan Tindakan illegal yang kerap dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Aktivitas ini menghasilkan lahan yang mudah terbakar karena meninggalkan sisa daun dan ranting kering yang berpotensi menjadi bahan bakar ketika ada percikan api atau panas.
Terakhir adalah perambahan hutan yang merupakan dampak dari peningkatan kuantitas penduduk yang secara massif terjadi di masyarakat. Migrasi penduduk ke dalam hutan, baik disadari atau tidak, akan menyebabkan kebutuhan lahan untuk hidup semakin luas.
Ini akan membuat penduduk tersebut membakar hutan untuk kepentingan lahan mereka, khususnya sebagai tempat tinggal pemukiman yang baru. Tentu saja, jika tidak secara hati-hati melakukan aktivitas ini, akan menjadi penyebab meluasnya kebakaran pada hutan di sekitar area tersebut.
Salah satu cara penanggulangan terhadap bencana kebakaran hutan adalah melakukan pemantauan terhadap titik panas. Hotspot merupakan suatu objek permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya yang dapat deteksi oleh satelit. Area tersebut direpresentasikan dalam suatu titik yang memiliki koordinat tertentu. Dengan mengidentifikasi hotspot secara dini maka dapat mempermudah dalam pencegahan kebakaran lahan di sekitar titik tersebut.
Teknologi informasi yang semakin maju dan berkembang memiliki peran vital dalam segala aspek kehidupan. Salah satu aspek perkembangan teknologi adalah teknologi internet yang dapat membangun aplikasi navigasi untuk membantu pemetaan rupa bumi secara online dan real-time, sering juga disebut Sistem Informasi Geografis.
Kemajuan teknologi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memvisualisasikan peta sebaran titik panas yang terintegrasi secara online. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggabungkan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan On-Line Analytical Processing (OLAP) sehingga menghasilkan “SOLAP” (Spatial OLAP).
Spatial OLAP digunakan untuk menganalisis data spasial dan memvisualisasikannya melalui kartografi (peta) dan tampilan non-kartografi. Dengan demikian sebaran spasial titik api dapat dilakukan secara presisi, sehingga memudahkan dalam menganalisis penyebab kebakaran hutan. (*)
Oleh: Andi Nurholis Pakar Geographic Information System (GIS) Universitas Teknokrat Indonesia