Terakhir, OJK harus menegakkan sanksi yang tegas, proporsional, dan transparan.
“Sanksi dapat berupa sanksi administratif seperti peringatan tertulis, denda finansial, hingga pembatasan kegiatan usaha,” jelas Prof. Nairobi kepada Radarlampung.co.id.
“Bisa juga berupa sanksi reputasi, dengan cara mengumumkan sanksi yang diberikan kepada bank yang melanggar melalui situs resminya (naming and shaming). Cara ini cukup efektif untuk mendisiplinkan bank karena menyangkut reputasi publik,” lanjutnya.
BACA JUGA:Gonjang-Ganjing Rumah Tangga Raisa dan Hamish Daud: Dari Harmonis hingga Gugatan Cerai
Sanksi tidak hanya ditujukan bagi institusi bank, tetapi juga kepada pimpinan cabang dan account officer yang bersangkutan, misalnya melalui pencabutan sementara izin kerja sebagai pelaksana kredit.
OJK juga perlu berkoordinasi dengan Kementerian Koperasi dan UKM serta lembaga penjamin (Jamkrindo/Askrindo).
Jika bank terbukti meminta agunan tambahan, lembaga penjamin dapat mempertimbangkan untuk menolak klaim penjaminan dari bank tersebut di masa depan, atau memberikan penalti.
Langkah ini akan menjadi konsekuensi finansial langsung yang menimbulkan efek jera bagi bank pelanggar.
“OJK memegang peran kunci sebagai wasit yang memastikan semua pemain mematuhi aturan. Jadi, OJK tidak boleh hanya menunggu laporan, tetapi juga harus turun langsung melakukan uji petik,” pungkasnya.