disway awards

Akademisi ITERA Soroti Kerusakan Berulang di Ruas Bypass Soekarno–Hatta

Akademisi ITERA Soroti Kerusakan Berulang di Ruas Bypass Soekarno–Hatta

Foto ilustrasi jalan rusak. -Pixabay -

RADARLAMPUNG.CO.ID – Ruas Jalan Soekarno–Hatta atau Bypass Panjang–Natar kembali mendapat sorotan setelah kerusakan tahunan terus muncul pada titik-titik yang sama.

Akademisi Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Muhammad Abi Berkah Nadi, menilai pola kerusakan tersebut menunjukkan bahwa perbaikan yang selama ini dilakukan belum menyentuh akar persoalan. Menurutnya, diperlukan perubahan konstruksi jalan secara menyeluruh.

Ia menjelaskan, penggunaan perkerasan fleksibel (flexible pavement) berbahan aspal memang tidak ideal untuk ruas yang setiap hari dilalui kendaraan bertonase besar. Beban berlebih ini membuat aspal cepat mengalami kerusakan.

“Jika kerusakan terjadi berulang pada titik yang sama, maka diperlukan peningkatan kualitas jalan. Dengan beralih ke rigid pavement atau jalan beton, potensi kerusakan bisa diminimalkan,” tegas Abi saat dihubungi Radarlampung.co.id, Senin, 17 November 2025.

Abi menuturkan, ruas Panjang–Natar merupakan jalan nasional dengan arus kendaraan berat yang sangat tinggi. Beban yang dapat melampaui satu ton setiap hari membuat lapisan aspal sulit bertahan lama.

“Agar kerusakan tidak terulang, peningkatan menjadi rigid beton diperlukan agar jalan mampu menahan beban secara optimal,” ujarnya.

Selain persoalan material jalan, ia juga menilai pentingnya Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) melakukan kajian mendalam terkait kondisi tanah di beberapa titik yang kerap rusak.

Menurut Abi, riset mengenai kontur tanah, termasuk uji daya dukung seperti CBR (California Bearing Ratio), sangat diperlukan agar metode perbaikan yang digunakan sesuai standar.

“Memang harus ada riset kontur tanah pada titik-titik kerusakan. Jika terjadi lendutan akibat beban kendaraan, ada kemungkinan tanah di bawah perkerasan tidak cukup kuat. Apalagi kerusakan sering muncul pada musim hujan, ini menandakan perkuatan tanah belum optimal,” jelasnya.

Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Lampung itu menambahkan, kajian tanah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pemadatan. Apabila pemadatan tidak sesuai standar, kerusakan struktural bisa kembali muncul setelah diguyur hujan.

“Tapi kembali lagi pada persoalan anggaran. Harus ada skala prioritas agar pekerjaan perbaikan tidak terus-terusan tambal sulam,” tuturnya.

Terkait karakteristik tanah di sepanjang Panjang–Natar, Abi mengaku belum dapat memastikan tanpa uji tanah langsung. Namun pola kerusakan seperti retak buaya, lubang, dan lendutan saat musim hujan, dapat menjadi indikasi adanya penurunan tanah (land subsidence).

“Jika kerusakan rutin terjadi saat musim hujan, bisa saja ada penurunan tanah akibat penggunaan air tanah berlebihan. Maka perlu perkuatan timbunan agar tanah lebih stabil,” paparnya.

Untuk solusi jangka panjang, Abi kembali menegaskan perlunya peningkatan struktur jalan menjadi rigid pavement. Menurutnya, penggunaan aspal tidak akan mampu bertahan lama di ruas dengan intensitas dan beban kendaraan setinggi Jalan Soekarno–Hatta.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: