Iklan Bos Aca Header Detail

Kesejahteraan Anak Indikator Masa Depan Bangsa!

Kesejahteraan Anak Indikator Masa Depan Bangsa!

RADARLAMPUNG.CO.ID – Isu anak dan remaja menyertai setiap persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan nasional dalam arti luas. Investasi sosial yang menempatkan kesejahteraan anak sebagai pusat perhatian sama pentingnya dengan investasi ketahanan suatu negara. Pembangunan ekonomi, sosial, dan kesejahteraan rakyat adalah isu komprehensif. Demikian ditegaskan mantan wartawan surat kabar nasional Maria Hartiningsih, kala menjadi pembicara dalam Webinar Media Fellowship yang digagas Rutgers, Rabu (14/7) sore. Ya, Maria yang aktif di dunia jurnalistik kurun 1984-2015 sengaja diundang guna berbagi pengalaman mengenai peningkatan kapasitas bagi media untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi pada isu hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). Jurnalis, kata dia, sebaiknya memiliki pengetahuan yang luas dan komprehensif. Selain menyangkut latar belakang persoalan, adalah tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Di Lampung, berdasarkan catatan Radarlampung.co.id, kejahatan seksual masih cukup tinggi. Bahkan, masih hangat diingatan masyarat Lampung, Dian Ansyori, anggota UPT Pusat Pelayanan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2PTP2A) Lamtim, yang bertugas memberikan pendampingan terhadap korban, justru ikut melakukan tindak pencabulan terhadap korban. Belakangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukadana menjatuhkan vonis 20 tahun penjara dan hukuman kebiri terhadap Dian Ansyori. Dian dinilai terbukti bersalah mencabuli anak di bawah umur. Vonis itu lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Sukadana. Putusan itu dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Sukadana Eti Purwaningsih didampingi anggota majelis Ratna Widyaning Putri dan Liswerni Rengsina Debataraja  melalui sidang yang digelar secara virtual, Selasa (9/2). Sidang virtual itu diikuti JPU Kejari Sukadana Aana Marlinawati dan Avina Mariza. Sementara, terdakwa didampingi kuasa hukumnya Fauzi dan Yuriansyah. Dalam amar putusannya, majelis hakim juga menjatuhkan vonis terdakwa untuk membayar denda Rp800 juta subsider 3 bulan kurungan penjara dan membayar restitusi kepada korban Rp7,7 juta. Pertimbangan majelis hakim, terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Pertimbangan lain, sebagai anggota UPT  P2PTP2A Lamtim, seharusnya terdakwa menjadi pelindung korban. Tapi terdakwa justru mencabuli korban. Pada amar putusannya, majelis hakim memberikan waktu selama satu tahun setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah) untuk mengeksekusi hukuman kebiri. Sementara, untuk hukuman restitusi terdakwa diberi waktu 30 hari untuk membayar kepada korban. Sampai batas waktu yang ditetapkan terdakwa tidak membayarnya, keluarga korban dapat mengadukan ke PN Sukadana. Atas pengaduan itu, PN Sukadana akan memberikan surat peringatan kepada terdakwa. Bila tidak diindahkan, PN Sukadana memerintahkan JPU menyita harta terdakwa. Selanjutnya, majelis hakim memberikan waktu 7 hari kepada terdakwa untuk menanggapi putusan tersebut. Atas putusan itu, Fauzi dan Yuriansyah selaku kuasa hukum terdakwa menyatakan akan mengajukan banding. Menurutnya, keputusan itu tidak memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa. Sementara, JPU Ana Marlinawati menyatakan masih pikir-pikir. \"Kami akan mengajukan banding karena majelis hakim tidak mempertimbangkan pembelaan kuasa hukum. Selain itu, putusan membayar restitusi dan hukuman kebiri tidak memenuhi rasa keadilan terdakwa,\" kata Yuriansyah didampingi Fauzi. Menilik balik ke belakang, pada sidang sebelumnya Dian dijerat dengan pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan ke dua Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak junto pasal 76 d Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Udang Nomor 22 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan pada sidang lanjutan terdakwa dituntut hukuman penjara selama 15 tahun dengan denda Rp800 juta subsider 3 bulan penjara serta membayar restitusi kepada korban Rp22.330.000 atau diganti kurungan penjara 6 bulan. Perkara pencabulan itu berawal dari aksi pencabulan yang menimpa NV (13) yang dilakukan kerabatnya sendiri. Atas kejadikan itu, Dian yang saat itu merupakan anggota UPT P2PTPA Lamtim berinisiatif memberikan pendampingan terhadap korban. Namun, justru Dian Ansyori diduga ikut melakukan tindak pencabulan terhadap korban. Atas kejadian itu, Dian dilaporkan ke Polda Lampung dan akhirnya menyerahkan diri. Buntut dari peristiwa itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Timur kemudian membekukan UPT.P2PTPA. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lamtim  Rita Witriati menjelaskan, DA bukan merupakan pejabat atau pegawai honor di lingkungan dinas yang dipimpinnya.  ”DA bukan pegawai atau honor di UPT P2PTP2A, yang bersangkutan hanya sebagai anggota,” jelas Rita Witriati. Kasus terkait HKSR yang tak kalah mengagetkan masyarakat Lampung adalah kasus pemerkosaan yang dialami perempuan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Tugu Durian, Kelurahan Sukadanaham, Kecamatan Tanjungkarang Barat, Bandarlampung, pada Jumat (11/6) dini hari lalu. Kasus ini pun turut mendapat perhatian Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari. Di mana, peristiwa itu sempat terekam kamera tilang elektronik (ETLE) yang terpasang tak jauh dari lokasi kejadian. Taufik dalam keterangannya, Sabtu (10/7) mengatakan, ODGJ kerap menerima diskriminasi dari masyarakat karena dianggap berperilaku menyimpang. Padahal, lanjutnya, ODGJ juga punya hak mendapatkan perlakuan yang baik, memperoleh perlindungan dan kenyamanan dari negara. \"Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 149 berbunyi: Pasal 148 ayat (1):Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Pasal 149: Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Di sini jelas seperti apa peran negara terhadap OGDJ,\" ungkap Taufik. Anggota DPR RI Fraksi NasDem yang membidangi hukum ini meminta ada keseriusan dan perhatian terhadap para OGDJ, baik dari pemerintah maupun aparat keamanan. Sehingga hak-hak mereka sebagai warga negara bisa terpenuhi. Taufik juga menyoroti peran dari Dinas Sosial yang dipandang belum maksimal melindungi dan memberikan pendampingan terhadap ODGJ. Untuk itu, dirinya berharap korban ODGJ dalam kasus yang terjadi di Tugu Durian, harus memperoleh pendampingan, perawatan, dan pemulihan secara psikologis. Pemprov dan Pemkot diminta memastikan pemulihan korban terwujud. ’’Para pelaku harus diusut jangan sampai masih berkeliaran karena mereka telah melakukan kejahatan,” ujar Taufik. Terakhir, Taufik meminta kelompok masyarakat, terutama yang bergerak dalam bidang advokasi dan pendampingan, memberikan perhatian terhadap para ODGJ yang terlantar di jalan. Karena tidak menutup kemungkinan masih banyak di luar sana yang mengalami hal yang sama. Trust Dibutuhkan Dalam Peliputan MENYIKAPI berbagai pemberitaan media atas kasus HKSR, Maria menegaskan bahwa anak dan remaja memiliki hak eksklusif yang harus dipenuhi. Hak-hak itu termasuk hak untuk tumbuh kembang di lingkungan yang kondusif, hak untuk dilindungi, hak untuk mendapat gizi yang baik, hak untuk kesehatan, hak untuk pendidikan, juga hak untuk didengar pendapatnya. \"Tugas kita adalah menarik persoalan anak ke dalam arus utama berbagai isu besar,” pesannya kepada para awak media. Mengutip kalimat Prof. Kishore Mabhubani dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Maria menuturkan, kesejahteraan anak merupakan indikator masa depan bangsa. Perlakuan terhadap anak saat ini akan memperlihatkan situasi masyarakat 20-30 tahun ke depan. Keruntuhan Uni Soviet pertama-tama ditandai dengan tingginya angka kematian bayi dan balita. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga belum memadai karena sepertiga perempuan di seluruh dunia masih dilecehkan secara fisik. Sekitar 100 juta hingga 140 juta perempuan menjadi korban mutilasi genital dan sekitar 70 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Sekitar satu juta anak terjebak dalam perdagangan seks setiap tahunnya. ’’Masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan metode khusus untuk meliput dan menuliskannya disertai etika yang ketat. Dan, cara mendapatkannya harus sangat hati-hati. Jangan memaksa korban berbicara. Wawancara yang intimidatif membuat korban merasakan kekerasan yang berulang. Korban dan bahkan keluarganya membutuhkan trust dari pewawancara. Ini butuh waktu,” tegas Maria. Menurutnya, lebih baik mencari data penunjang lain sebelum akhirnya mewancara korban, termasuk data dasar dan data lebih jauh mengenai berbagai hal, termasuk kondisi wilayah. ’’Harus berhati-hati untuk tidak berhenti pada mengeksplorasi penderitaan karena hal itu hanya menimbulkan rasa kasihan, tetapi tidak mengubah apapun. Kita harus dapat mengungkap akar persoalan dan menandatangani dengan perspektif HAM. Artinya diperlukan pengetahuan yang cukup dan tindakan matang dalam melakukan kerja jurnalis,” pungkasnya. (sur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: