Selanjutnya, akhir Desember 2020 Direksi PT KPP dilaporkan pasal penggelapan oleh pihak PT VDNIP ke Dittipidum Bareskrim Polri.
Perusahaan itu menyatakan sudah membeli aset PT KPP melalui Huang Zuo Zhao dengan dasar surat perjanjian bawah tangan dengan judul Perjanjian 001 seluas 325 hektare dan perjanjian 002 seluas 25 hektare.
Atas dasar perjanjian dan bukti transfer sebesar Rp 95 miliar ke rekening perusahaan PT KPP (saat itu masih dikuasai Huang Zuo Chao).
Ketika kasus ini diselidiki, Johny M. Samosir telah menyampaikan bahwa pemegang saham dan organ perusahaan PT KPP pada Maret 2018 tidak pernah mengetahui dan menyetujui adanya perjanjian bawah tangan 001 dan 002.
Penjualan aset tanah-tanah KPP kepada PT VDNIP merugikan dan tidak sesuai dengan kaidah hukum jual beli yang benar.
"Terkait transfer senilai Rp 95 miliar yang dianggap sebagai bukti pembayaran, tidak ada satu sen pun di terima oleh pemegang saham," tegas Gunawan.
BACA JUGA: Simak, Ini Lima Penyakit Mata yang Patut Diwaspadai
Dilanjutkan, dana itu hanya masuk selama dua jam ke rekening bank PT KPP. Hari yang sama, ditransfer keluar dengan tujuan rekening luar negeri oleh mantan Dirut Huang Zuo Chao.
Inti laporan kepada direksi baru PT KPP di atas adalah bahwa PT VDNIP melalui perjanjian bawah tangan 001 telah membayar sejumlah Rp 95 miliar ke rekening PT KPP.
Sebagian besar surat tanah dengan luas total 325 hektare telah terima oleh PT VDNIP dari Huang Zuo Chao.
Kemudian 64 sertifikat untuk lahan seluas 32 hektare belum diserahkan oleh Huang Zuo Chao.
BACA JUGA: Kejati Geledah Rumah Eks Kadis DLH Bandar Lampung
Dalam laporan PT VDNIP, direksi baru yaitu Johny M. Samosir dituding menggelapkan 64 sertifikat tersebut karena menyimpan dan tidak menyerahkan kepada PT VDNIP.
"Atas tuduhan menyimpan 64 SHM tersebut, secara jelas kami sudah menyampaikan kepada penyidik," papar Gunawan.
Sementara, 64 SHM itu merupakan pengembalian dari Polres Konawe kepada PT KPP lewat notaris Sabril Syahbirin sekitar Desember 2019.