Dalam KUHP Nasional, telah pula merumuskan definisi tentang “permulaan pelaksanaan” yang merupakan salah satu syarat untuk mengkualifikasi perbuatan sebagai suatu “percobaan tindak pidana”. Perumusan definisi ini tentu berdampak positif, khususnya dapat memudahkan dan memberikan kepastian hukum dalam menentukan suatu perbuatan sebagai “percobaan tindak pidana”. Secara tidak langsung, perumusan ini tentunya juga memudahkan untuk membedakan suatu perbuatan, apakah merupakan “percobaan tindak pidana” atau semata-mata sebagai suatu persiapan tindak pidana .
KUHP Nasional telah juga mendefinisikan tentang tindak pidana korporasi, sebagaimana dirumuskan dalam KUHP Nasional, “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional, dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”. Rumusan tersebut berbeda dengan rumusan sebagaimana diatur dalam pasal 20 UU Tipikor, yang telah dirumuskan secara lebih luas, karena dapat dilakukan oleh setiap orang baik berdasarkan hubungan kerjamaupun berdasarkan hubungan lain. Sementara dalam KUHP Nasional menjadi dibatasi, hanya apabila perbuatan dilakukan oleh orang-orang dalam kedudukan fungsional tertentu dalam korporasi. Perbedaan ini dapat membawa perdebatan hukum, khususnya terkait dengan apakah dalam hal ini, UU Tipikor tetap dapat dikecualikan sebagai lex spesialis. Dalam arti bahwa dalam penegakan tindak pidana korupsi terhadap korporasi, kriteria “perbuatan korporasi” yang digunakan tetap mengacu pada UU Tipikor dan bukan pada buku I KUHP Nasional. Padahal buku I dengan sendirinya berlaku terhadap ketentuan pidana di luar KUHP.
Kedua, Pertanggungjawaban Pidana konsen pada unsur kesalahan. Tiada pidana tanpa kesalahan merupakan dalil pembaruan yang diusung dalam KUHP Nasional. Menurut Roeslan Saleh sebagaimana yang dikutip oleh Silvia Kurnia Dewi, ada dua unsur penting dalam pilar pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan pidana dan kesalahan. Perbuatan pidana mendahului pertanggungjawaban pidana. Artinya seseorang tidak mungkin bisa bertanggung jawab tanpa terlebih dahulu melakukan perbuatan pidana. Bahkan tidak adil rasanya seseorang harus bertanggungjawab sedangkan seseorang tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Selain unsur perbuatan pidana, unsur lain dalam pertanggungjawaban pidana ialah unsur kesalahan. Hal ini senada dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) atau (keine Strafe ohne Schuld) atau (actus non facit reum nisi mens sir rea). Kesalahan merupakan aspek penting di sini untuk melihat hubungan perbuatan dengan rumusan delik, serta hubungan perbuatan dengan sikap batin (niat) dari si pelaku. Adanya konsep pemisahan antara pertanggungjawaban pidana dengan kesalahan.
Berikutnya pilar pemidanaan berhubungan dengan sanksi pidana serta tujuan dari pemidanaan. Yaris Adhial Fajrin dengan merujuk pendapat Muladi, bahwa pada era modern saat ini, sanksi pidana semakin manusiawi dan cenderung dalam penerapan mencari sisi manfaat dalam rangka resosialisasi pelaku kejahatan. Sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan yang semakin tidak populer dan ketinggalan zaman, mulai beralih ke sanksi tindakan dan rehabilitasi agar lebih manusiawi. Hukuman terhadap kejahatan semakin manusiawi selama munculnya aliran neo-klasik, sehingga mengingatkan para peneliti pada gagasan individualisasi kehajatan. Sistem pidana saat ini dalam hukum pidana modern berorientasi pada pelaku dan perbuatan (Daad-Dader Straafrecht) sehingga jenis sanksi yang dijatuhkan tidak hanya mencakup sanksi pidana tetapi juga sanksi tindakan.
Pilar pertama mengenai tindak pidana yang hubungannya pada unsur perbuatan, akan menyajikan ulasan mengenai dua hal, yaitu apakah dalil dan dasar untuk menyatakan suatu tindak pidana, dan adakah definisi yuridis mengenai tindak pidana.
Pasal 1 ayat (1) KUHP sering kali dipahami dalam ilmu hukum pidana sebagai wujud penormaan dari asas legalitas. Bahkan sering pula, dikenali sebagai pengertian normatif dari tindak pidana. Untuk menetapkan suatu perbuatan diliputi delik apa tidak, maka sumber hukum dasar patut dipidananya suatu perbuatan selalu berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan secara tertulis. Sejalan dengan asas legalitas formal yang merupakan hakikat dari Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Marthen H. Toelle mengatakan suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana ketika negara memberikan justifikasi kriminalisasi atas perbuatan tersebut dalam peraturan perundang-undangan. Moeljatno sendiri menguraikan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dasar pokoknya ada pada asas legalitas (principle of legality). Asas ini menentukan bahwa tidak ada suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan sebelumnya terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam istilah dikenal nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yaitu tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.
Sebagamaina telah di uraikan di atas, bahwa KUHP Nasional memberi ruang terhadap hukum yang hidup sebagai dasar atau sumber hukum pemidanaan sebagai perluasan asas legalitas. Dengan demikian, perubahan yang terjadi dalam KUHP Nasional merupakan perluasan makna asas legalitas yang merepresentasikan dari ide keseimbangan. Sebagai sumber hukum dan dasar pemidanaan diformulasikan dalam bentuk norma KUHP Nasional Pasal 1 ayat 1 merupakan sumber hukum tertulis, dan Pasal 2 ayat 1 sebagai sumber hukum tidak tertulis.
Perluasan makna asas legalitas formil ke asas legalitas materiil berimplikasi pada pendefinisian tindak pidana. Setidaknya KUHP Nasional telah memberikan terminologi yuridis terhadap tindak pidana. Pertama, tindak pidana ialah suatu perbuatan baik itu melakukan dalam arti pasif dan aktif yang oleh peraturan dinyatakan sebagai perbuatan dilarang dan diancam sanksi pidana. Kedua, perbuatan tersebut bersifat melawan hukum serta bertentangan dengan hukum yang hidup. Ketiga, pada prinsipnya tindak pidana bersifat melawan hukum kecuali ada alasan pembenar terhadapnya.
Asas legalitas formiil mendasarkan diri pada kepastian hukum. Sebagaimana pandangan Jan Michiel Otto kepastian hukum merupakan sicherkeit des rechts selbst, yaitu kepastian tentang aturan hukum itu sendiri. Berbeda dengan asas legalitas materiil mendasarkan diri pada kemanfaatan dan keadilan.
Pembaruan hukum pidana terhadap pilar tindak pidana pada intinya menyangkut sumber hukum dan dasar untuk menyatakan seuatu perbuatan dapat dipidana atau tidak berdasarkan pada asas legalitas formiil dan asas legalitas materiil.
Selanjutnya, pembahasan mengenai pilar pertanggungjawaban pidana yang berhubungan erat dengan unsur kesalahan. Kebaruan yang nyata dalam KUHP Nasional ialah asas tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini merupakan asas fundamental dalam kemampuan bertanggungjawab seorang pelaku. Pokok pemikiran yang mendasari ialah keseimbangan monodualistik yang salah satu cirinya fleksibelitas (tidak kaku), dalil pemidanaan tidak hanya karena tindak pidana (asas legalitas), dan implementasi dari nilai Pancasila
Keseimbangan monodualistik yang dimaksud ialah asas kesalahan (asas culpabilitas) yang merupakan asas kemanusiaan disandingkan dengan asas legalitas (principle of legality) yaitu asas kemasyarakatan. Dalil yang dibangun oleh asas geen straf zonder schuld (asas tiada pidana tanpa kesalahan) bahwa setiap orang tidak dapat dipidana kecuali adanya kesalahan pada perbuatannya. Konsekuensi dari asas ini ialah adanya pemisahan yang tegas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Terakhir atau ke-tiga dalam pembaruan hukum pidana adalah pemidanaan. Pada era klasik hukum pidana hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembalasan bagi pelaku. Sanksi pidana dipercaya dapat mengatasi akibat yang ditimbulkan dari kejahatan. Paham semacam ini bertahan cukup lama melalui teori retributif. Tidak ada celah untuk memperbaiki pelaku. Kesalahan pelaku merupakan ketercelaan moral yang pantas untuk diberikan efek jera dengan penestapaan. Tujuan pemidanaan semata-mata sebagai sarana membalas perbuatan.
KUHP Belanda (WvS) sangat tertinggal jauh dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Khususnya mengenai pemidanaan, dirasa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Sistem pemidanaan dalam KUHP bersifat individualistic. Bahkan mengabaikan realitas nilai perdamaian sehingga tidak dijadikan sebagai dasar penghapusan pemidanaan. KUHP kurang mengakomodasi penerapan filosofi musyawarah mufakat berdasarkan Pancasila. Perdamaian sebagai asas penyelesaian konflik antar warga masyarakat baik yang bersifat individual maupun ketertiban umum, dikesampingkan dalam KUHP lama. Hanya baru baru ini terdapat euforia Restoratif Justice yang itupun tidak ada pengaturannya dalam KUHP itu sendiri, hanya di atur oleh masing-masing-masing-masing Aparat Penegak Hukum.
Berdasarkan atas hal itu, maka KUHP Nasional memiliki tujuan pemidanaan sejalan dengan ide dasar keseimbangan perlindungan masyarakat dan perlindungan individu pelaku pidana. Perlindungan masyarakat tampak dalam formulasi KUHP Nasional masih mempertahankan sanksi pidana mati dan pidana seumur hidup. Meskipun pidana mati masuk pada pidana pokok dan ditempatkan secara khusus bersifat eksepsional. Dimensi perlindungan individu pelaku kejahatan ketika mencantumkan penerapan pidana mati secara selektif dan juga terdapat penundaan pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun hukuman.