UPAYA pembaruan hukum pidana nasional telah muncul sejak era awal kemerdekaan. Diawali dengan diterbitkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menjadi dasar hukum untuk menghindari kekosongan hukum. Peraturan yang ada (KUHP lama) masih tetap diberlakukan dan di masa mendatang diharapkan lahir KUHP yang sesuai dengan semangat proklamasi sebagai bangsa yang merdeka. Ditegaskan kembali dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Jo. UU No.73 Tahun 1958 dimana peraturan hukum pidana tidak boleh bertentangan dengan kedudukan negara Indonesia sebagai negara merdeka.
Paradigma baru pembaruan hukum pidana nasional tidak sekedar mengganti norma pidana secara teknis, hal terpenting yaitu merefleksikan apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia sebagai negara merdeka, adil dan makmur. Pembaruan hukum pidana nasional berpijak pada visi dan misi yang melingkupi KUHP Nasional .
Visi dari KUHP Nasional tentunya harus adanya keunggulan secara sistematik baik itu secara struktural, subtantif dan kultural. Hal ini menjadi alasan dan tujuan untuk mengganti KUHP lama (WvS) warisan kolonial Belanda. Visi itu oleh Muladi digambarkan pada tujuan masa depan dalam mewujudkan hukum pidana nasional yang berlandaskan Pancasila, Konstitusi, HAM serta asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Selain itu, misi utama KUHP Nasional yaitu proses dekolonialisasi melalui rekodifikasi terbuka secara sistematik. Artinya, tidak dilakukan dengan cara fragmentaris atau dimaksudkan tidak tambal sulam.
Bahwa Pada tanggal 2 Januari 2023 “Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP baru menjadi produk hukum pertama yang diresmikan Jokowi di awal tahun 2023.
Selamat datang Era Baru penegakan hukum pidana di tanah air, KUHP baru ; dalam tulisan ini penulis menyebutnya dengan KUHP Nasional, telah lahir pada tanggal 2 Januari 2023 yang telah menggantikan KUHP lama era Kolonial peninggalan Penjajah Belanda (WvS).
Mundur jauh ke belakang, bahwa salah satu naskah Akademik KUHP NASIONAL yang ditulis pada Tahun 2015 dan diterbitkan oleh BPHN Kementerian Hukum dan HAM, disitu disebutkan adanya tiga pilar pembaharuan hukum pidana nasional. Ketiga pilar tersebut memfokuskan pada hal utama dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.
Hukum pidana Indonesia telah kembali pada jati diri Pancasila. KUHP (WvS) peninggalan Belanda terang begitu individualistik dan sekuler, Rancang bangun KUHP Nasional haruslah berdasarkan kepada Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan dan kemasyarakatan.
KUHP Nasional menurut Barda Nawawi Arief merupakan sebuah rancang bangun dari sistem hukum pidana Indonesia yang dimaksudkan untuk membangun dan memperbarui sebuah sistem baru. Makna pembaruan disini tidak dapat dikecilkan hanya sekedar terjebak dalam pembahasan perumusan pasal demi pasal semata. Pembaruan KUHP hakikatnya adalah memperbarui konsep atau pokok pemikiran dan ide dasarnya, bukan sekedar urusan mengganti tambal sulam pasal secara tekstual.
Revolusi ide yang sangat besar adalah perubahan pada azas Legalitas pada hukum pidana Nasional. Sebagaimana tertuang pada perubahan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan” dan kemudian Pasal 2 ayat (1) “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Dengan telah bergesernya azas legalitas Formal yang hanya berdasarkan kepada Undang-undang semata, maka dengan hadirnya Pasal 2 ayat (1) dalam KUHP Nasional, maka azas legalitas bergeser kepada azas legalitas materil, bahwa perbuatan bisa di sebut dan atau menjadi perbuatan pidana apabila melanggar norma-norma yang hadir dalam masyarakat yang belum di atur dalam KUHP Nasional.
Rupanya para pemikir dan perancang KUHP Nasional benar-benar telah mengadopsi keragamanan suku dan adat yang ada dan hidup di masyarakat Republik Indonesia, serta mengantisipasi perbuatan tercela yang dapat dihukum meskipun belum ada aturan pidana yang mengaturnya.
Sejatinya pembaruan hukum pidana dalam KUHP Nasional menyajikan 3 pembaruan hukum pidana yang meliputi Tindak Pidana, Pertanggung Jawaban Pidana dan Pemidanaan.
Pertama, Tindak pidana ialah pada perbuatan, prihal apa yang menjadi dasar dalam hal menetapkan sebuah perbuatan dikatakan sebagai delik. Dua istilah penting dalam kajian hukum pidana ketika berbicara mengenai perbuatan yaitu mala in se dan mala prohibita. Kedua istilah ini secara konsepsional memiliki arti yang berbeda. Suatu perbuatan yang secara hakiki memiliki sifat jahat tanpa harus diatur oleh Undang-Undang disebut sebagai mala in se, misalnya mencuri dan membunuh pada prinsipnya merupakan perbuatan tercela. Sebaliknya sesuatu perbuatan yang dikatakan tercela karena dinyatakan oleh Undang-Undang, misalnya pelanggaran lalu lintas dapat disebut sebagai mala prohibita.
Berkaitan dengan pengertian “Tindak Pidana”, KUHP Nasional telah merumuskan sebagai “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana”. Perumusan tersebut tampaknya belum mencakup pengertian tindak pidana dalam delik materil, seperti halnya dalam tindak pidana pembunuhan. Kelemahan ini tentunya tidak mempunyai relevansi terkait dengan tindak pidana korupsi yang selama ini tidak dirumuskan sebagai delik materil. KUHP Nasional memandang setiap “tindak pidana” sebagai bersifat melawan hukum, kecuali bila dapat dibuktikan bahwa terdapat alasan pembenar, yang meliputi : perbuatan melaksanakan undang-undang, adanya perintah jabatan, keadaan darurat, pembelaan secara terpaksa, dan perbuatan dinyatakan tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (dianutnya ajaran melawan hukum secara materil yang dirumuskan KUHP Nasional). Perumusan tersebut, lebih menjamin kemudahan dalam proses penuntutan, karena Penuntut Umum tidak diwajibkan untuk membuktikan dipenuhinya unsur melawan hukum. Sekalipun hal ini sesungguhnya sudah merupakan hal biasa dalam praktek penegakan hukum pidana di Indonesia, namun KUHP saat ini sesungguhnya tidak pernah mengatur secara tegas.
KUHP Nasional mengatur tentang kemungkinan, untuk mengkualifikasi perbuatan “permufakatan jahat” sebagai tindak pidana, dalam tindak pidana tertentu, yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang. Dalam KUHP Nasional, permufakatan jahat dikualifikasi sebagai tindak pidana dalam tindak pidana : Makar, Penghianatan terhadap Negara, Sabotase, Terorisme, Makar terhadap Negara Sahabat, Menimbulkan Kebakaran, ledakan, dan Banjir, Membahayakan Orang dan Keamanan Umum, Psikotropika, Pencucian Uang. KUHP Nasional tidak mengkualifikasi “permufakatan jahat” untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.