Kolonel Makmun Rasyid: Menolak Tunduk

Kolonel Makmun Rasyid: Menolak Tunduk

Serma Harun dan Rahim Rasyid di markas pejuang gerilya, Kampung Pematang, lereng Gunung Rajabasa, Lampung Selatan, Agustus 1949. FOTO ISTIMEWA --

"Mencegah terjadinya korban di pihak sipil mengingat lokasi perang terjadi di tengah kota Kalianda, maka saya perintahkan pasukan mundur keluar kota", ujar Kolonel Makmun Rasyid berkisah pada Iskandar Zulkarnain.

12 orang pejuang gugur yaitu yaitu Serma CPM. Ibnu Hasyim dan Kopral M. Toyib. Selebihnya adalah anggota laskar yang oleh Letkol Bambang Utoyo, Komandan Brigade Sumatera Selatan tanggal 17 September 1957 diberi pangkat Prajurit Satu Anumerta. Yaitu Derani, M. Yusuf, Umar, Abidin, Lekok, M. Amin, Haris, Isya, Husin dan Sulaiman seluruh jenazahnya dipindahkan ke TMP Kesuma Bangsa Kalianda pada 10 November 1963.

Sementara pejuang yang luka parah adalah Juwaher dan Sappot.

"Dalam pertempuran itu kami kehilangan 9 orang prajurit dan 11 luka-luka", ujar  Letnan Satu Blakenburg seorang perwira Belanda ketika bertemu Makmun Rasyid dalam perundingan tanggal 11 September 1949 di Markas Pejuang di Kampung Pematang.

Untuk menghormati jasa para pejuang yang ikut dalam pertempuran itu, maka oleh pemerintah diberi nama Jalan Kesuma Bangsa di lokasi pertempuran terjadi. Lokasi jalan itu persisnya antara Jembatan Way Urang sampai ke Pasar Kalianda.

Sementara antara jembatan Way Urang sampai Kantor Bupati Lampung Selatan dinamakan Jalan Kolonel Makmun Rasyid.

Pertempuran lainnya yaitu pada 9 Agustus 1949. Sejak pukul 09.45 WIB sampai 10.15 WIB pertempuran terjadi di utara kota Kalianda tepatnya sekitar Way Kiyai Kampung Karet.

Pukul 12.30 WIB pasukan Makmun Rasyid mundur ke Kampung Pematang untuk melanjutkan perang dengan taktik gerilya. 

Esoknya pada 10 Agustus 1949 pukul 08.00 WIB pagi, tanpa diduga Belanda menyerang pertahanan pejuang di Kampung Pematang.

Dalam pertempuran ini, dua orang warga  Kampung Pematang yaitu Djaya bin H. Djafar dan Djaya bin Harun dibunuh secara keji karena dituduh sebagai laskar pejuang.

"Tak ingin lebih banyak jatuh korban sipil, maka pasukan pejuang menjauh dari Kampung Pematang ke arah selatan. Selama mundur, pasukan Belanda terus menghujani pejuang dengan tembakan senjata otomatis", ujar  Sersan Mayor Harun yang merupakan adik ipar Kolonel Makmun Rasyid yang ikut dalam pertempuran itu.

Peristiwa di Rayon Tanjungan 

Sebagai akibat perjanjian 11 September 1949 di Kampung Pematang antara TNI dengan Belanda yang dihadiri antara lain oleh Kapten Souhoka, Letnan Muda Makmun Rasyid dan Letnan Satu Blakenburg, maka seluruh pasukan TNI dan laskar di Kampung Pematang, Dantaran, Pardasuka dan Canti Lampung Selatan paling lambat sampai 15 September 1949 wajib pindah ke daerah Tanjungan (sekarang bagian dari Kecamatan Ketibung) 

Sebenarnya hal itu sangat merugikan posisi pejuang sebab selain wilayah Rayon Tanjungan sempit (hanya sekitar 2 km persegi) itu artinya para pejuang dijauhkan dari wilayah Kalianda dan rakyatnya.

Akibatnya 74 prajurit TNI, 195 laskar dan staf pemerintah sipil RI harus berdiam di Rayon Tanjungan sebagai pusat pemerintahan darurat sampai tanggal 18 Desember 1949.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: