Digipay Satu Untuk Pembangunan Ekonomi yang Lebih Baik
--
Kondisi tersebut hampir berbanding lurus dengan nilai transaksi Digipay dimana ketiga pulau tersebut juga menjadi penyumbang nilai transaksi Digipay tertinggi di Indonesia. Pulau Jawa memiliki nilai transaksi Digipay terbesar, yaitu Rp15,17 miliar diikuti oleh Bali dan Nusa Tenggara Rp11,62 miliar dan Kalimantan Rp10 miliar. Sementara itu, pulau dengan jumlah nilai transaksi terendah adalah Maluku dengan 203 transaksi senilai Rp282,7 juta, Papua dengan 1.341 transaksi senilai Rp2,7 miliar dan Sulawesi dengan 3.716 transaksi senilai Rp6,13 miliar.
Meskipun Digipay terus mengalami pertumbuhan penggunaan secara signifikan namun kondisi tersebut belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari tingkat implementasi Digipay yang merupakan perbandingan antara jumlah Satker yang telah menggunakan Digipay dengan jumlah Satker penguna Uang Persediaan. Terdapat anomali penggunaan Digipay dimana tingkat implementasi Digipay tertinggi ternyata bukan berasal dari pulau dengan rata-rata Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi Provinsi tertinggi.
Menurut BPS (2021) Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) merupakan ukuran yang menggambarkan tingkat pembangunan teknologi informasi dan komunikasi suatu wilayah, kesenjangan digital, serta potensi pengembangan TIK yang disusun dari tiga subindeks, yaitu subindeks akses dan infrastruktur, subindeks penggunaan dan subindeks keahlian. Berdasarkan data BPS pada tahun 2020 pulau dengan rata-rata IP-TIK Provinsi tertinggi adalah Jawa dengan IP-TIK 6,34, Kalimantan 5,72 dan Sumatera 5,54.
Sementara itu, berdasarkan data Ditjen Perbendaharaan pulau dengan tingkat implementasi Digipay tertinggi adalah Kalimantan dimana 15,35% Satker pengguna UP telah menggunakan Digipay. Kemudian diikuti oleh Bali dan Nusa Tenggara serta Papua dengan tingkat implementasi Digipay masing-masing sebesar 11,37% dan 8,28%. Kondisi ini menggambarkan potensi penggunaan Digipay di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku belum tergali sepenuhnya karena memiliki tingkat implementasi Digipay di bawah Papua yang merupakan pulau dengan rata-rata IP-TIK Provinsi terendah di Indonesia. Secara nasional tingkat implementasi Digipay baru mencapai 7%.
Kondisi di atas diperkuat dengan kondisi tingkat implementasi Digipay di ibu kota provinsi sebesar 7,4% sehingga tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota nonibu kota provinsi sebesar 6,7%. Hal ini mengindikasikan belum optimalnya penggunaan Digipay oleh Satker yang berlokasi di ibu kota provinsi karena secara umum fasilitas, akses dan kemampuan SDM terkait teknologi informasi dan komunikasi di ibu kota provinsi jauh lebih baik daripada kabupaten/kota nonibu kota provinsi.
Kendala Implementasi Digipay
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penerapan Digipay kurang optimal sejak diluncurkan. Pertama, kurangnya kapasitas pengguna dari Satker. Kementerian Keuangan melaksanakan penyempurnaan pengelolaan keuangan negara secara masif dan cepat sementara di sisi Satker pengelolaan keuangan umumnya hanya bertumpu pada segelintir pegawai.
Keadaan ini membuat para pegawai tersebut tidak memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari dan mengeksplorasi sistem baru selain sistem utama yang digunakan dalam pengelolaan keuangan.
Kedua, Digipay terdiri dari empat platform yang terpisah berdasarkan Bank Himbara penyedianya, yaitu BRI, Mandiri, BRI dan BTN. Kondisi ini menyebabkan transaksi Digipay hanya dapat dilakukan oleh Satker dan vendor yang memiliki rekening pada bank yang sama sehingga membatasi Satker pada saat akan melakukan pengadaan barang/jasa dan vendor dalam memperluas pangsa pasar.
Ketiga, penggunaan Digipay membutuhkan jumlah user yang cukup banyak. Satker pengguna Uang Persediaan minimal membutuhkan lima user yang terdiri atas Pemesan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Penerima Barang dan Bendahara Pengeluaran, dengan asumsi user admin dirangkap oleh salah satu user lain. Sementara itu, vendor minimal membutuhkan dua user, yaitu Staf dan Petugas Pengiriman, dengan asumsi user admin dirangkap oleh salah satu user lain. Kondisi ini menyulitkan Satker dan vendor UMKM yang memiliki jumlah pegawai sedikit sehingga menurunkan minat mereka untuk mendaftar dan menggunakan Digipay.
Keempat, Satker belum berhasil untuk mengajak penyedia barang/jasa yang selama ini digunakan untuk menjadi vendor Digipay. Kondisi ini membuat Satker tidak memiliki informasi mengenai vendor yang andal dan ekonomis sehingga ragu untuk melakukan transaksi. Satker akan membutuhkan banyak usaha untuk berkomunikasi dengan vendor yang sudah terdaftar guna mengetahui vendor mana saja yang menyediakan fasilitas nego harga atau bebas ongkos kirim.
Kelima, Satker masih enggan menggunakan sistem baru yang berbasis digital, transparan dan akuntabel. Satker masih nyaman menggunakan sistem pengadaan barang/jasa konvensional yang selama ini digunakan dan belum ada peraturan yang mengatur pengenaan sanksi bagi Satker yang tidak menggunakan Digipay.
Penyempurnaan Digipay Menjadi Digipay Satu
Dalam rangka mengatasi kelima hambatan di atas, Ditjen Perbendaharaan selaku penyedia layanan Digipay telah melakukan beberapa Langkah perbaikan. Salah satunya adalah menugaskan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang merupakan instansi vertikal di bawah Ditjen Perbendaharaan yang berhubungan langsung dengan Satker untuk menyelenggarakan bimbingan teknis asistensi digitalisasi pembayaran minimal dua kali setiap bulan mulai Agustus 2022.
Kegiatan bimbingan teknis yang dilaksanakan oleh KPPN di seluruh Indonesia berhasil meningkatkan kembali pertumbuhan jumlah transaksi Digipay yang sempat mengalami penurunan sejak Juni 2022 hingga ke level pertumbuhan terendah sepanjang tahun 2022 di bulan Agustus sebesar -4,98% (mtm) menjadi sebesar 7,59% pada bulan September 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: