Lalu produksi mesiu dan peluru itu terus berlangsung meski peperangan tengah berkecamuk.
Kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawan.
Penguasaaan informasi semakin dikembangkan untuk mencari taktik dan strategi yang jitu dalam mengalahkan pihak musuh.
Hingga pada puncak peperangan pada tahu 1827, bangsa kolonial Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 serdadu.
Hal itu menjadi sesuatu yang belum pernah terjadi di wilayah Jawa yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.
Dalam sudut militer, Perang Diponegoro menjadi perang yang pertama kali melibatkan semua metode.
BACA JUGA: Rekomendasi Smartwatch yang Bikin Tampil Elegan, Mau Pilih Xiaomi Watch 2 Pro atau Huawei GT 4 46mm?
Baik itu metode perang terbuka (open warfare), maupun perang gerilya (guerilla warfare).
Kemudian dalam pelaksanaannya dilaksanakan lewat taktik tabrak dan lari (hit and run) serta pengadangan.
Tak cukup menggunakan strategi sesuai dengan sudut kemiliteran, belanda juga terus melakukan berbagai cara licik untuk menangkap Diponegoro.
Hal ini terjadi pada tahun 1829, Belanda mengeluarkan sayembara dengan maklumat siapa saja yang berhasil menangkap sang pangeran.
BACA JUGA: Belanja Murah, Banyak Hadiah di Mom and Kids Fair!
Entah itu dalam keadaan hidup atau mati, orang yang menangkapnya akan mendapatkan upeti atau hadiah sebesar 50 ribu Gulden.
Tak hanya dapat uang, siapapun yang berhasil menangkap Pangeran Diponegoro juga akan dapa tanah serta penghormatan.
Namun karena perlawanan Diponegoro yang semakin melemah sejak akhir 1828.