Tidak mungkin pada tahun 1905 ia menulis artikel tentang “Geen juristenrecht voor de inlander”, apabila disitu tidak digunakan pendekatan atau metode sosiologis. Dengan menggunkan konsep dan pengertian hokum Belanda memang orang tidak akan
menemukan adanya hokum di Indonesia waktu itu. Apa yang oleh Vollenhoven disebut sebagai “juristenrecht” tidak berbeda dengan “jurisprudential model” dalam dikotomi Donald Back.
Ilmu hukum di Indonesia dating dan diusahakan melalui kolonialisasi Belanda atas negeri ini. Pendidikan tinggi hukum yang boleh dipakai sebagai lambang dari kegiatan kajian hukum baru dimulai pada tahun 1924, yaitu dengan dibukanya Rechtchogeschool di Jakarta. Sebelum itu memang sudah ada Rechsschool yang yang didirikan pada tahun 1909, dengan masa belajar enam tahun.
Lembaga ini belum dimasukkan ke dalam kategori keilmuan, karena separuh dari masa itu masih juga dipakai untuk melakukan pendidikan menengah atau SLTP sekarang.
Dari uraian di atas, menarik untuk diamati, bahwa wacana hukum yang melibatkan sosiologis sudah dimulai sejak sebelum didirikan lembaga pendidikan tinggi. seperti dikemukakan di atas, Vollenhoven telah melakukan pendekatan dua Dekade mendahului membukaan Rechtshogeschool.
Namun demikian , rupanya wacana Vollenhoven dengansejawatnya hanya berhenti “wacana hukum adat” dan tidak berkembang menjadi suatu wacana pendekatan dan metodelogi dalam ilmu hukum.
Sosiologi hukum akan muncul apabila dalam masyarakat terjadi situasi-situasi konflik.
Perubahan konflik memang layak dibicarakan sebagai kategori tersendiri pada waktu kita membicarakan sejarah sosial Indonesia, khusunya sesuadah kemerdekaan.
Dalam rentang waktu antara 1970-1980 mulai terjadi institusionalisasi dari kajian sosial terhadap hukum yang berlangsung hampir serempak di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, terutama di UNDIP, UNAIR dibentuk pusat studi masing-masing ”Pusat Studi Hukum dan Masyarakat”.
Diluar fakultas hukum, pendektan sosiologi juga memasuki badan-badan, seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), suatu bagian dalam Departemen kehakiman.
Jajaran profesi hukum dan peradilan juga tertarik kepada disiplin ilmu yang baru tersebut, seprerti yang dilakukan dikalangan advokat, melalui permintaan ceramah-ceramah.
Sejak Indonesia sudah berubah menjadi negara merdekan dan mulai saat itu juga telah mengalami perubahan secara terusmenerus sampai akhirnya orde baru mendorong keterbukaan, maka standar lama tersebut tidak dapat lagi dipertahankan dalam hal ini putusan tersebut menggunakan pendekatan sosiologi hukum.
Dominasi tradisi pemikiran hukum analitis-positivis sejak abad kesembilan belas perlahan-lahan ditantang oleh pemikiran yang menempatkan studi hukum tidak lagi berpusat pada perundang-undangan, melainkan dalam konteks yang lebih luas.
Lebih luas di sini, berarti memungkinkan hukum itu juga dilihat sebagai perilaku dan struktur sosial.
Pemikiran seperti ini bukannya sama sekali asing dalam tradisi berpikir di Eropa, misalnya ada pada Puthta, Savigny, dan lain-lain pada dekade pertama abad kesembilan belas.
Tetapi pemikiran hukum itu tetap menjadi alternatif dan merupakan pemikiran arus bawah, oleh karena pengkajian yang analistis-positivistis tetap dominan. Namun akhirnya, sosiologi hukum memberikan cap dan tempat tersendiri terhadap kajian hukum yang demikian itu secara definitive dalam ilmu pengetahuan.