Iklan Bos Aca Header Detail

Cerita 15 Jam 20 Menit di Belantara Gunung Rajabasa

Cerita 15 Jam 20 Menit di Belantara Gunung Rajabasa

FOTO ISTIMEWA --

Oleh: Agustam Rachman

LAMPUNG SELATAN, RADARLAMPUNG.CO.ID - Sebenarnya saya sudah lama ingin melakukan pendakian ke gunung Rajabasa di Lampung. Setiap kali melintas, baik saat menuju Yogyakarta via darat (saat ini kami sekeluarga menetap di sana) atau ketika kembali ke Sumatera, gunung yang tingginya 1281 MDPL itu seakan memanggil dan mengajak untuk singgah.

Sampai saya tamat SMU 12 di Bandar Lampung tahun 1995, tidak terpikir oleh saya untuk mendaki gunung Rajabasa. Aktivitas mendaki gunung ini saya temukan ketika bergabung di Mahupala, sebuah organisasi Pencinta Alam Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Tentang gunung Rajabasa ini, tentulah penuh dengan beragam kisah. Termasuk didalamnya, gunung ini merupakan basis gerilya Radin Intan II (1834-1858) pahlawan nasional dari Lampung saat melawan Belanda.

Masyarakat percaya bahwa ada bala bantuan pasukan topeng yang turun dari gunung Rajabasa, membantu Radin Intan II.

BACA JUGA: Awkarin Tinggalkan Instagram 7,9 Juta Followers: Yang Kalian Lihat di Handphone Tak Setengahnya Jati Diriku

Sampai sekarang terdapat banyak tugu Topeng (dalam bahasa Lampung pesisir disebut Tuping), didirikan untuk mengenang kisah itu. Selain itu ada juga tari Tuping untuk melengkapinya

Sebut saja misalnya tugu di pertigaan jalan lintas Bakauheni menuju kantor Pemda Lampung Selatan. Atau ada juga dibangun di dekat pelabuhan nelayan tradisional di pantai Kalianda.

Pukul 13.00 atau sehabis zuhur dan makan siang, Minggu (19/6), kami berangkat  dari Camp Kalianda Out Door Desa Way Belerang, Dusun Pematang Landak, Kecamatan Kalianda. Kebetulan tempat ini juga melayani jasa penitipan motor

Tim  kami yang berangkat yaitu Yusha, alumni UIN Radin Intan; Alwan Rahman, mahasiswa semester 6 Poltekes Tanjung Karang dan saya sendiri.

BACA JUGA: Kemensos RI Menepis PKH Tahap Dua Dibuka, Cek Faktanya

Dua mahasiswa ini adalah keponakan saya. Usia mereka 21-an tahun. Sementara saya 4 tahun lagi genap 50 tahun.

Setelah berjalan sekitar tiga jam, kami tiba di Pos 1 pukul 16.00 WIB. Saat itu Pos 1 yang luasnya sekitar 15 x 30 meter, penuh sesak dengan para pendaki yang baru saja turun.

Hari Minggu. Wajar jika banyak pendaki yang menghabiskan malamnya di gunung Rajabasa.

"Kami bertujuh bang, dari Tanjung Karang, Bandar Lampung", ujar Aldo seorang pendaki ketika saya tanyai.

BACA JUGA: Banjir Komentar, Puan Maharani Sibuk Nge-Vlog saat Jokowi Menghadap Megawati Jelang Rakernas

Sepanjang perjalanan menuju pos 1, mata kami disuguhi pemandangan indah berupa kebun kakao, cengkeh, durian, kopi, pisang.

Sayang sekali musim durian tahun ini sudah selesai. Padahal durian gunung Rajabasa terkenal luar biasa enaknya.

Perjalanan tiga jam dari Desa Way Belerang termasuk lambat. Jalan yang dilewati menuju pos 1 kebanyakan berupa jalan beton. Selain berlumut dan licin karena musim hujan, ada juga faktor di mana kami tidak terbiasa berjalan mendaki jalan beton karena posisi tubuh akan sedikit miring ke belakang.

Beda halnya kalau berjalan di atas tanah saat mendaki. Ada banyak tempat lubang untuk berpijak sehingga posisi badan kita tetap berdiri lurus.

BACA JUGA: Harga Cabai Masih 'Pedas' Meski Perlahan Turun

Pos 1 merupakan lokasi pendirian tenda. Hanya di sini terdapat sumber mata air. Sementara di pos 2, 3, 4 dan 5 atau puncak Gunung Rajabasa, tidak terdapat sumber air bersih yang dekat untuk diakses.

Uniknya di sini para pendaki meninggalkan tenda dan perlengkapannya begitu saja dalam keadaan terpasang di pos 1 tanpa takut kehilangan.

"Di sini aman kok. Kami para petani yang lewat tanpa diminta turut membantu mengawasi dari kejauhan barang-barang pendaki yang ditinggal di pos 1",  ujar Heri, lelaki 51 tahun, warga Belerang Kering yang memiliki kebun di atas pos 1.

Sayangnya, beberapa oknum pendaki membuang sampah sembarangan. Padahal di pos 1 sudah ada papan besar berisi peringatan agar tidak meninggalkan sampah.

BACA JUGA: Perhatian untuk Orang Tua! Medsos Salah Satu Pemicu Kekerasan Seksual Anak di Bawah Umur

Tentang sampah ini menjadi masalah hampir disetiap gunung. Selain merusak lingkungan, juga membahayakan para pendaki itu sendiri.

Beberapa hewan liar, termasuk babi hutan sering mendatangi lokasi tenda karena sampah sisa makanan yang dibuang sembarangan. Bayangkan saja jika babi itu mengamuk dan menyerang para pendaki.

Oh iya, dalam perjalanan menuju ke Pos 1 kami berpapasan dengan anak-anak santri pesantren Sidomulyo, Lampung Selatan beserta  beberapa ustadz yang baru turun gunung. 

Saya yakin, para santri itu walaupun wajah mereka terlihat lelah tapi mereka  pasti senang telah "menaklukkan" rimba gunung Rajabasa.

BACA JUGA: Menkumham Kirim Mitsuhiro Taniguchi ke Jepang

Saya dan Alwan lebih dulu tiba di pos 1. Sementara Yusha berada sekitar 200 meter di belakang kami.

Tiba-tiba pesawat HT yang dipegang Alwan berbunyi, terdengar suara Yusha meminta dijemput karena kakinya kram.

Bergegas Alwan menjemputnya. Selang lima menit, Alwan telah kembali membawa tas carrier milik Yusha. Terlihat Yusha berjalan dibelakangnya.

Selanjutnya kami membuka tenda. Dilanjutkan dengan membuka tas carrier masing-masing. Saya terkejut. Ternyata isi tas carrier Yusha penuh dengan logistik makanan. Sayur, roti, sosis dan nugget.

BACA JUGA: Hakim Sama, Pengendali Sabu 92 Kg Bebas, Kurir 21 Kg Sabu Dihukum Mati

Menurut saya, logistik itu terlalu banyak. Wajar kalau beban Yusha terlalu berat.

"Tadi di rumah, saya timbang tas carrier saya. Beratnya 22 kilogram", kata Yusha sambil meringis memegangi kakinya yang tadi sempat kram.

Selesai mendirikan tenda dan memasang fly sheet diatasnya, saya lihat Yusha dan Alwan memasak air untuk membuat kopi.

Tentu, betapa nikmatnya menyeruput kopi sambil mendengarkan gemericik suara air di tengah hutan.

BACA JUGA: Terdakwa Kasus Kepemilikan Sabu 92 Kg Divonis Bebas?

Tak mau membuang waktu. Mereka berdua melanjutkan dengan aktifitas menyiapkan makan malam. Saya lihat "chef" Yusha mengiris bumbu di atas talen kayu yang sengaja dibawanya.

Hari menjelang magrib ketika nasi dan tumis kangkung dicampur tahu plus nugget dan sosis goreng siap disantap.

Secara bergantian kami bertiga salat di samping tenda dengan beralas matras.

Sehabis itu kami bertiga makan malam. Saya pernah diajak teman, makan di hotel JW Marriot Jakarta tahun 2009. Tapi perasaan saya kalah nikmat dengan menu makan malam dihadapan kami.

BACA JUGA: BB Kasus Penjualan Obat Ilegal Tak Lewati Uji Laboratorium, Hakim: Penyidikan Abal-abal Jika Seperti Ini

Sehabis makan, Yusha masih merasakan kram dikakinya. Diputuskan bahwa Yusha besok tidak ikut dalam perjalanan ke puncak dan hanya menunggu kami di pos 1.

Keputusan itu menurut saya juga bagus. Toh, untuk apa dipaksakan melanjutkan ke puncak jika disadari kondisi tidak memungkinkan.

Bukankah pendaki sejati sadar bahwa puncak  bukanlah tujuan utama. Puncak hanyalah bonus dari sebuah perjalanan.

Pukul 21.00 WIB, kami kedatangan dua teman Alwan dari Kalianda yaitu Fikri dan Genta. Mereka menyusul dengan kendaraan motor.

BACA JUGA: Ada Apa? Lolos Seleksi CPNS Lampung Barat, Alumni IPB Tidak Ikut Dilantik

Tentu tidak mudah mengendarai motor ke pos 1 di malam hari. Banyak jurang dalam di kanan jalan. Untuk keamanan sebenarnya lebih baik berangkat siang hari jika mengendarai motor ke pos 1.

Karena saya dan Alwan besok pukul 07.00 WiBy akan start menuju puncak, segera masuk tenda untuk istirahat tidur. Sesekali saya terbangun dan mendengar Yusha dan Fikri asyik berbincang di depan api unggun kecil didepannya.

Ketika saya terbangun dan melihat jam, sudah pukul 05.10 WIB menit.

Saya lihat Yusha sudah menyiapkan makan pagi dengan menu sup bakso. Setelah salat subuh, saya dan Alwan mulai packing barang.

BACA JUGA: Rumah Ustaz Yusuf Mansur Digeruduk Puluhan Investor Batu Bara, Massa: Kami Datang Kok Ngacir?

Hanya mie empat  bungkus, pisau, korek api, roti, kompor, panci kecil, mangkuk, cangkir dan sendok plastik serta lima botol besar air masak.

Pukul 07.00 WIB, saya dan Alwan selesai berdoa dan memulai pendakian.

Sekitar lima menit perjalanan, di kanan jalan ada pondok yang jika cuaca cerah, kita dapat melihat kota Kalianda. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk tiba di pintu rimba (perbatasan hutan dengan kebun warga).

Selanjutnya kami masuk kawasan hutan yang vegetasinya beragam dan lumayan rapat. Ada banyak pohon medang (Litsea spp), pakis hutan dan pandan berduri.

BACA JUGA: Ulang Tahun Jokowi, Ucapan Anies Baswedan Tarik Perhatian

Menurut dokumen resmi BKPH Wil. II Palembang tahun 2012, terdapat juga pohon damar (Shorea spp) di gunung ini.

Pendakian dari pos 1 menuju pos 2 ini memakan waktu satu jam. Sudah termasuk tiga kali istirahat sejenak di jalan. Tepat pukul 08.00 WIB, kami tiba di pos 2. Sebuah lokasi teduh dan bersih.

"Bang Yusha, kami sudah tiba di pos 2 dengan selamat", ujar Alwan melapor kepada Yusha melalui pesawat HT.

Sepuluh menit istirahat di pos 2, kami melanjutkan perjalanan. Hanya butuh waktu 15 menit untuk tiba di pos 3.

BACA JUGA: Ini Profil Lengkap Penugasan Kapolda Lampung Irjen Akhmad Wiyagus, Pernah Jadi Penyidik di KPK

Lokasinya bagus untuk istirahat. Walau ada sedikit sampah plastik dan kaleng yang dibuang oleh oknum pendaki.

Setelah itu kami lanjutkan perjalanan menuju pos 4. Dalam perjalanan, kami banyak bertemu monyet (macaca fascicularis) melompat dari pohon ke pohon yang terletak di jurang-jurang sebelah kanan.

Mungkin ada pohon hutan yang sedang berbuah di sekitar sana yang menjadi makanan monyet. Sekitar 15 menit perjalanan kami perlukan untuk tiba di pos 4.

Istirahat sejenak di pos 4, kami lanjutkan perjalanan menuju pos 5. Selama 20 menit kami tetap melewati rute hutan rimba. Setelahnya kami tiba disebuah pohon mirip pintu gerbang.

BACA JUGA: Bawaslu Keluarkan Surat Warning untuk ASN dan Tenaga Honor Pemkot

Dari sini jalur berubah menjadi landai dan pohonnya sudah lebih kecil-kecil. Sekitar 10 menit sebelum tiba di pos 5, ada jalur agak menurun.

Kami beruntung dalam perjalanan ini bertemu hewan langka berupa kepiting hutan warna merah menyala sebesar kelingking orang dewasa.

Alwan sempat mengambil video hewan ini. Aneh memang diketinggian diatas 1000 MDPL  tanpa air, tapi kepiting bisa hidup. Saya menduga kepiting ini hewan endemik di gunung Rajabasa dan terancam punah.

Saya pernah melihat kepiting mirip ini diacara national geografic yang meliput hutan Amazon.

BACA JUGA: Irjen Akhmad Wiyagus Jabat Kapolda Lampung, Ada Tiga Pimpinan Polda yang Berganti

Sekitar 40 menit berjalan dari pos 4, kami tiba di pos 5. Berupa tanah datar sekitar 5 x 10 meter dengan batu besar ditengahnya.

Dari pos 5, puncak Gunung Rajabasa sudah terlihat. Alwan yang sudah 10 kali mendaki Gunung Rajabasa mengatakan bahwa hanya butuh dua menit menuju puncak dari pos 5.

Kami memutuskan untuk memasak mie dan minum kopi di pos 5 sebelum ke puncak.

"Itu danau bekas kawah letusan Gunung Rajabasa. Dari pos 5 ini kita bisa ke sana. Tapi saya belum pernah ke kawah itu", ujar Alwan menunjuk ke jurang disebelah kiri pos 5.

BACA JUGA: Pencekalan Bendahara Umum PBNU Mardani H Maming ke Luar Negeri oleh KPK dan Imigrasi Disayangkan

Di atas danau yang ditutupi rumput itu, saya melihat ada elang (spizaetus batelsi) terbang tinggi berputar-putar sambil memekik nyaring. Mungkin ada mangsa yang diincarnya di danau itu.

Di sisi danau ada batu besar yang disebut Batu Cukup. Dinamakan begitu karena mitosnya berapa orangpun yang duduk diatasnya bisa cukup. Walaupun terlihat kecil dari kejauhan, mungkin batu itu seukuran seperempat lapangan futsal.

Selama perjalanan, dibeberapa tempat ada sinyal. Terbukti ketika membuka HP di pos 5, beberapa WA teman berhasil terkirim ke HP saya.

Selesai ngopi dan makan mie, kami mengemasi barang. Tak lupa saya mengingatkan ke Alwan untuk tidak meninggalkan sedikitpun sampah sisa. Semua sampah harus dibawa pulang.

BACA JUGA: 47 Nasabah Jadi Korban Skimming Bank Lampung, Ini Ciri-ciri ATM Sasaran Pelaku

Dengan hanya membawa HP dan bendera merah putih kami mendaki menuju puncak. Tepat dua menit kami sudah tiba. 

Ternyata di atas puncak ada bendera besar yang terpasang walau dengan kondisi lusuh dan ada sobekan. Dengan demikian bendera yang kami bawa tidak jadi dibentangkan.

Puncak Gunung Rajabasa berupa tanah kosong sekitar ukurannya 5 x 8 meter, dari sana seluruh bukit disekitarnya terlihat jelas.

Sayangnya karena kabut, kami tidak bisa melihat laut dari puncak ini. Setelah berfoto dengan latar bendera kami turun lagi ke pos 5.

BACA JUGA: Suami Pulang Hendak Mengambil Jaket, Ibu Guru Tepergok Berduaan Dengan Berondong

Tepat pukul 11.15 WIB, kami start turun dari pos 5. Karena selama perjalanan mendaki, sudah banyak yang kami lihat berupa pohon dan hewan hutan, maka saat berjalan turun, kami putuskan tidak banyak istirahat.

Yang berbeda ketika turun hanya suara Siamang (hylobates malayanus) bersahut-sahutan mengiringi perjalanan kami.

Ketika tiba di pos 2, Alwan memberi tahu ke Yusha untuk membuka tenda karena sebentar lagi kami akan tiba di pos 1.

Tepat pukul 14.15 WIB, kami tiba di pos 1. Perjalanan turun ini lebih lambat dari perkiraan. Karena kami berjalan pelan. Ada problem dengan jari kelingking kaki saya ketika terhimpit ujung sepatu akibat tekanan tubuh ketika berjalan menurun.

BACA JUGA: Tega, Pekerja Tebu di Tubaba Ini Mendapatkan Upah Uang Mainan

Setiba di pos 1, Yusha sudah memasak air panas. Tak sabar saya segera menyeduh kopi sambil membentangkan kaki. Melelahkan. Tapi  menyenangkan.

Saya lihat Yusha dan Alwan menuju sungai. Ternyata Yusha mau mandi di bawah pancuran sebelum pulang.

Ketika Alwan pulang dari sungai, ada sejenis lintah kecil menempel ditangannya. Saya tidak tahu nama ilmiahnya. Tapi orang kampung saya menyebutnya lesing.

"Lain kali kalau mandi di pancuran di tengah hutan, posisi kepala harus menunduk jangan mendongak ke arah pancuran sebab khawatir lintah lesing masuk ke hidung", kata saya memberi tahu Alwan dan Yusha.

BACA JUGA: Dua Orang Jemaah Haji Asal Lampung Jatuh Dari Eskalator, Begini Kondisinya

Setelah packing, kami bertiga sempat berfoto  dengan latar papan pos 1. Sebelum pulang menuju Desa Way Belerang, tak lupa saya ingatkan mereka agar jangan meninggalkan sampah di pos 1.

Delapan sampah bekas botol minuman yang ditinggalkan oknum pendaki diikat ke tas carrier Alwan. Jadilah Alwan terlihat seperti pemulung demi menjaga hutan Gunung Rajabasa.

Kami turun dari pos 1 tepat pukul 14. 20 WIB. Dalam perjalanan turun, kami hanya dua kali berhenti istirahat.

Terakhir, kami istirahat di pinggir sawah sekitar 30 menit sebelum tiba di desa Way Belerang.

BACA JUGA: Wow, Ada Pesawat di Universitas Aisyah Pringsewu

Di tengah sawah terlihat ada lelaki yang sedang mencangkul. Dia berteriak pada kami menawarkan bahwa di pondoknya ada air minum.

Dia juga menawarkan, jika mau memanjat kelapa muda, boleh naik sendiri gratis.

Dari kejauhan kami berteriak mengucapkan terima kasih pada lelaki itu.

"Kalau manjat pohon kelapa saya enggak kuat. Tapi kalau bapak itu yang memetikkan untuk kita, dengan senang hati saya terima", ujar Yusha setengah bergumam sambil tersenyum bercanda. Tentu gumaman itu tidak terdengar oleh lelaki itu.

BACA JUGA: Sindikat Pembuatan Sim Palsu Diamankan Polres Tubaba

Tepat pukul 16.20 WIB, Senin (20/6), kami tiba di Camp Kalianda Out Door untuk mengambil titipan motor.

Tanpa membuang waktu, kami langsung pulang. Sekitar 10 menit, kami sudah tiba di rumah orang tua Alwan (yang juga saudara kandung saya) di Jalan Serma Tamimi Kalianda.

Sebuah pendakian  singkat. Dalam hati saya berniat, suatu saat sebelum usia 50 tahun saya akan mendaki Gunung Rajabasa melalui jalur Merambung (wilayah gerilya Radin Inten) supaya bisa melewati kawah danau dan Batu Cukup.

Salam Lestari!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: